Puisi-Puisi Grand Colin


 

Hari-Hari Kami

 

(Tidak ada hari kemarin untuk kebahagiaan kami)

Hidangan kami berbahan bubuk mesiu dan sedikit selongsong peluru

Bumbu-bumbunya diracik dengan recik darah dan tetes keringat

Alat makan yang kami pakai terbuat dari tulang anak-anak dan ibu-ibu,

adapun baja-baja kendaraan menjadi panci-panci kami.

 

Jalanan kami dilapisi dosa-dosa injakan para penjajah

Genting rumah kami campuran tanah liat dan tanah sengketa

Pasar di daerah kami tidak ada jual-beli, hanya menerima

bantuan kemanusiaan dan doa-doa

Sekolah-sekolah di sini tidak terbatas bangunan,

karena guru kehidupan berdiri di atas tiap tanah.

 

(Tidak ada hari kemarin untuk kebahagiaan kami)

Perjalanan hidup kami sependek batang kayu

Teh dan koran pagi hari hanya ada di tetangga sebelah

Pagi hari kami penuh dengan teriakan korban jiwa,

sebab pada tiap malam hari

mereka asyik menyaksikan mercon bernama rudal.

Usia dan umur bukan halangan untuk menyaksikan keseruannya,

justru pemiliknya bahagia melihat merconnya jadi tontonan.

 

(Kebahagiaan kami hanya angan-angan hari esok)

Hari-hari tanpa nyanyian peluru

Hari-hari anak kecil berlari bukan karena takut

Hari-hari ibadah tanpa tekanan

Hari-hari makanan dan minuman tak bercampur air mata

Hari-hari, hari-hari, dan hari-hari.

 

Runtuhnya Kota

 

tembok-tembok itu bagai

apel dimakan ulat. bunyi lonceng pada malam hari

bangunkan tubuh-tubuh gagah yang sedang bermimpi.

ibu-ibu hamil, seketika mereka melahirkan bayi

yang penasaran dengan meriam-meriam paling ngeri

di zaman yang masih percaya

pada bulan merah yang membawa kabar mati

 

“beberapa minggu lalu, kau mesti kagum melihat kota tersebut. jalan laut bekerja, roti

  hampir gratis, dan temboknya kokoh karena terbuat dari doa dan harapan.”

 

lupa mana siang, mana malam. karena

bola mata menjadi saksi atas mayat-mayat

korban ambisi dan ekspansi. karena

gendang telinga ditabuh oleh suara-suara

jerit wanita dan anak-anak. karena

jari-jari bukan lagi mengaduk adonan roti

tetapi menadahi air mata

dari mata yang kotor dan merah

 

janji dan harapan itu bagai menggenggam abu.

kapal-kapal bantuan masih tak kasat mata.

tembok-tembok pincang diludahi meriam.

tetangga sebelah bermuka dua.

pasukan bayaran bagai remah

roti menghadapi ribuan semut.

“beberapa minggu lalu, kau mesti kagum melihat kota tersebut. jalanan dipenuhi

  senyum, wanita berias, anak-anak belajar dan berlarian, kapal bertambat dan

  membayar upeti, sedang raja bersama menteri menjaga dan mengatur rakyat

  tanpa cemas seperti saat ini.”

 

Oleh: Grand Colin

Editor: Lalu Azmil Azizul Muttaqin

Posting Komentar

To Top