Masa Depan Dunia Islam: Antara Perpecahan dan Persatuan

Dunia Islam hari ini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, umat muslim tersebar di hampir seluruh penjuru dunia, memiliki jumlah populasi besar, warisan intelektual yang agung dan potensi geopolitik luar biasa. Namun, di sisi lain, dunia Islam juga diliputi oleh perpecahan internal, konflik sektarian, saling curiga antarkelompok dan krisis kepemimpinan moral.

Perpecahan umat Islam bukan hal baru dalam sejarah. Sejak wafatnya Rasulullah SAW, umat menghadapi ujian perbedaan pandangan, konflik politik hingga perbedaan mazhab. Perbedaan yang dahulu diolah dalam tradisi keilmuan, kini justru menjadi bahan bakar permusuhan. Media sosial mempercepat polarisasi, sementara sebagian pemimpin dan penguasa justru mengeksploitasi perbedaan ini demi kepentingan kekuasaan. Lantas, ke mana arah masa depan dunia Islam hendak dibawa?

Luka Dunia Islam dan Potensi yang Terabaikan

Konflik internal tersebut menjadi penyebab utama terciptanya luka di tubuh umat Islam hari ini. Hal itu bisa kita lihat dari beberapa konflik besar yang melanda dunia Islam—dari Suriah, Irak, Yaman hingga Sudan. Beberapa konflik tersebut tidak hanya menghancurkan infrastruktur, tetapi juga merobek jaringan ukhuah yang selama ini menjadi fondasi umat. Hal itu diperparah dengan adanya fragmentasi dalam umat Islam: Arab versus non-Arab, Suni versus Syiah, Islam moderat versus Islam politik dan seterusnya. Seolah-olah, kesamaan kalimat syahadat tidak cukup untuk menyatukan hati.

Sementara itu, diskriminasi terhadap minoritas muslim seperti yang terjadi pada suku Rohingya di Myanmar, Uighur di Cina, dan muslim India menunjukkan bahwa dunia Islam juga menghadapi tantangan eksternal yang kompleks. Ironisnya, umat Islam justru gagal menunjukkan solidaritas yang kuat dalam beberapa kasus ini. Syekh Ali Jum’ah menekankan pentingnya solidaritas dalam menghadapi tantangan global. Dalam salah satu pernyataannya beliau mengatakan, “umat Islam tidak akan mampu menghadapi konspirasi musuh-musuhnya kecuali dengan kembali kepada persatuan, menjauhkan diri dari perpecahan dan menegakkan solidaritas atas dasar cinta dan kasih sayang di antara sesama muslim."

Selain karena terjadinya perpecahan internal, penyebab kemunduran umat Islam lainnya adalah potensi yang dimiliki kurang dikembangkan dan digunakan dengan baik serta maksimal. Padahal, jika ditinjau secara objektif, dunia Islam memiliki potensi sumber daya yang besar; minyak, penduduk muda yang melimpah, lembaga pendidikan Islam klasik dan modern, serta posisi strategis secara geografis. Dalam teori hubungan internasional, umat Islam sebetulnya memiliki peluang untuk memainkan peran besar sebagai blok peradaban (civilizational bloc) yang berdaya dan mandiri.

Akan tetapi, potensi tersebut tersekat oleh batas negara-bangsa, ambisi regional dan kecurigaan antarpenguasa. Organisasi-organisasi regional Islam seperti OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) kerap kehilangan taring dan gagal bertindak dalam situasi krusial. Dalam kondisi ini, dunia Islam bukan hanya tercerai secara politik, tetapi juga kehilangan arah secara moral.

Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal, pemikir Islam asal Pakistan, bahwa Islam bukan sekadar peradaban masa lalu, melainkan juga kekuatan spiritual untuk membangun masa depan yang berkeadilan. Tanpa kesadaran akan nilai-nilai keadilan itu, dunia Islam hanya akan menjadi pewaris simbol, bukan pelopor perubahan.

Persatuan: Mimpi atau Misi?

Lalu apakah persatuan dunia Islam hanya utopia? Tentu tidak. Setidaknya terdapat tiga hal utama yang perlu dilakukan untuk mewujudkan persatuan tersebut: memulihkan kesadaran kolektif, memperkuat solidaritas melalui dialog keislaman dan persatuan serta memanfaatkan generasi muda muslim.

Pertama, persatuan umat hanya mungkin jika kita memulihkan kesadaran kolektif—bahwa perbedaan mazhab, budaya, bahkan politik adalah bagian dari dinamika sejarah, bukan alasan untuk saling meniadakan. Imam al-Syafi’i pernah berkata, “Pendapatku benar, tapi bisa saja salah; pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar.” Ini bukan sekadar ungkapan toleransi, tapi fondasi bagi dialog dan saling menghormati.

Persatuan umat juga membutuhkan ta’dib, yaitu pendidikan akhlak. Bukan hanya pendidikan hafalan atau fikih, tetapi pendidikan yang membentuk pribadi muslim yang inklusif, berempati dan cakap dalam menghadapi zaman. Tanpa transformasi cara berpikir, umat Islam akan terus terjebak dalam siklus konflik.

Kedua, potensi dunia Islam sejatinya tidak hanya terletak pada aspek material seperti sumber daya alam dan jumlah populasi. Lebih dari itu, dunia Islam memiliki kekuatan budaya dan spiritual yang dapat menjadi kekuatan lunak (soft power) untuk membentuk arus pemikiran global yang lebih adil dan manusiawi. Sayangnya, potensi ini belum dikelola secara kolektif. Dunia Islam masih kekurangan forum intelektual yang independen dan inklusif.

Wadah untuk para akademisi dan pemimpin muda dari berbagai negara agar bisa berdiskusi tanpa beban politik perlu dimasifkan. Hal ini menjadi penting mengingat majelis ilmu adalah ruang utama yang melahirkan integrasi pemikiran lintas wilayah. Lembaga-lembaga pendidikan Islam klasik seperti al-Azhar, Zaitunah, atau al-Qarawiyyin adalah contoh yang masih menjadi pusat rujukan dunia Islam dan intelektual keislaman.

Sebenarnya, beberapa inisiatif telah muncul dalam satu dekade terakhir, seperti Muslim Youth Summit, kerja sama pendidikan antarnegara Islam, hingga diplomasi budaya melalui film, seni, dan literasi. Di Indonesia, muncul gerakan Islam inklusif yang mengusung dialog antarkelompok—membuka ruang-ruang perjumpaan antara kelompok konservatif, progresif, dan tradisionalis. Ini semua adalah titik-titik cahaya yang menunjukkan bahwa masa depan Islam tidak harus dibangun dengan cara yang seragam, tetapi bisa dengan kolaborasi yang sinergis.

Sebagaimana disampaikan oleh Syekh Ahmad al-Thayyib, Imam Akbar al-Azhar, dalam salah satu pidatonya di forum antaragama, “Islam bukan ancaman bagi dunia, tetapi kunci perdamaian jika ia dijalankan dengan semangat kasih sayang dan keadilan.” Maka dunia Islam hanya akan punya masa depan yang kuat jika ia bersedia membuka diri terhadap kerja sama lintas negara, lintas mazhab dan generasi.

Ketiga, umat Islam hari ini harus menggeser orientasinya dari sekadar mempertahankan identitas menuju membangun peradaban. Identitas memang penting, akan tetapi jika ia menjadi pagar eksklusif, hal itu akan menjadi beban sejarah. Sebaliknya, jika identitas dijadikan dasar untuk bersinergi, maka ia akan menjadi modal besar menuju dunia Islam yang beradab.

Dengan visi ini, masa depan dunia Islam bukan semata terletak di tangan para pemimpin politik, melainkan juga pada kaum muda muslim—yang membaca zaman dengan cerdas, berdiri di atas nilai-nilai Islam humanis dan mampu bekerja sama lintas batas. Masa depan itu mungkin tidak dibangun dalam waktu singkat, tetapi ia bisa dimulai hari ini. Dengan langkah-langkah konkret seperti membuka dialog, menolak fanatisme, memperkuat solidaritas dan menanam benih-benih keadaban di lingkungan masing-masing. Dari sinilah peradaban Islam yang baru bisa bertunas.

Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai…” (QS. Ali ‘Imran: 103). Persatuan adalah amanah ilahiah. Masa depan dunia Islam bergantung pada keberanian kita untuk menjawab amanah itu, dengan ilmu, akhlak dan semangat persaudaraan.

Redaktur : Maspud Aripin

Editor : Muhammad Reza Pahlevi Mufarid

Posting Komentar

To Top