Impian Sebelum Ajal
Di sudut kota, air menggenang di tengah jalan terdecak oleh injakan kaki anak-anak brandal tak bertata-krama. Mengotori dinding rumah tak terawat yang seakan tak bertuan. “Ngik!” decitan pintu yang terbuka mengheningkan anak-anak yang tengah asik berlarian. “Woi!” suara lantang yang mengagetkan terdengar dari rumah bertingkat tiga. Mereka lari ketakutan, layaknya berlomba siapa pelari paling kencang.
Seorang remaja keluar dari rumah tak terawat itu. Namanya Adi, sudah lama ia tinggal sebatangkara sejak kedua orang tuanya meninggal, menjadikannya hidup serba pas-pasan. Pagi berangkat mencari penghidupan dengan kerja serabutan, demi menghidupi dirinya dan kucing hasil temu kemarin di pinggir jalan. Pulang malam tak membuatnya jenuh mencari uang untuk hidupnya kedepan. Kegigihan Adi dalam bertahan hidup patut diacungi jempol untuk remaja seusia Adi saat ini. Ya, dia menghabiskan sisa malamnya dengan bermain game online yang menjadi hiburan sementara untuk melupakan peliknya dunia.
Suatu ketika, Adi menghadap jendela rumahnya di lantai tiga. Dia hanya bisa berdoa, apa yang dia impikan dan cita-citakan bisa tercapai sebelum menyusul kedua orang tuannya.
***
“Ah,” Adi merintih terbangun karena terjatuh. Dia bingung dengan apa yang dia lihat. Aliran sungai yang tenang, hutan asri, pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya menjadi kesenangan tersendiri baginya. Mengikuti setapak jalan dari sungai, dia menemui keramaian orang-orang berpakaian layaknnya karnaval hari kemerdekaan.
Pemandangan baru itu, membuat Adi yang tak tahu caranya tersenyum, mengangkat bibir pada orang-orang yang melihat ke arahnya. Keramaian yang sudah lama tak dirasakan Adi, suasana itu membuatnya nyaman. Berbeda dengan rumah besar yang Ia tempati. Sepi, hening, suram, entah apalagi yang bisa menggambarkan tempat itu, yang jelas tiap orang pasti enggan menatap.
Adi terlalu nyaman menyantap suasana itu. “Aduh,” terjatuh, bertabrakkan dengan seseorang gadis yang berusaha menutup kembali penutup wajahnya yang terlepas. “Maaf,” ucap Adi yang tak dihiraukan oleh gadis itu. Dada berdegup kencang, entah siapapun dia, yang pasti hati Adi telah terenggut pada pandangan pertama. Adi sempat ingin menyusulnya berlari, tapi ia tenggelam dengan kerumunan orang-orang.
***
“Hah,” Adi menghela napas, menyesal beberapa hari dia tak bisa bertemu dengan gadis itu kembali. Dia terus mencari, mencari hingga ia tak menemukan tujuan hidupnya kembali. Sekali lagi, ia kembali ke sungai tempat ia terjatuh. Ia merenung, bingung, lelah hidup tak punya sandaran. Apa tujuannya hidup? Bagaimana harus menjalani? Pertanyaan yang kadang terbesit di benaknya, tapi tak mampu dia menjawab dengan apa yang telah dia tuai selama ini.
Renungan yang cukup lama itu, terpecah oleh sosok perempuan yang ingin membuka tudungnya. Adi melotot melihat gadis itu. “Tidak salah lagi, itu dia. Gadis yang kemarin kutabrak di kerumunan,” berkata dalam hati sambil kegirangan. Ia bersiap melompati batu yang ada di depannya untuk lebih mendekat pada gadis itu. “Byur!” naas, ia terjun ke sungai yang hening itu dan mengejutkan si gadis yang malu dilihatnya.
Gadis itu berlari sambil menutup wajahnya yang masih basah bekas basuhannya tadi. Adi mengejarnya dengan sekujur tubuhnya yang basah kuyup, terpincang-pincang menginjak batu pinggir sungai yang lumayan runcing. Gadis itu masuk kerumunan pasar yang ramai. “Hah,” sekali lagi dia kehilangan jejak pujaan hatinya entah kemana.
Dia berjalan pasrah, kembali merenungi nasibnya yang tak bertujuan. Tanpa disadari, dia sudah berjalan jauh dari kerumunan pasar itu. Dia melewati sebuah kemah milik para serdadu.
“Hei Nak, sepertinya kamu pantas menjadi seorang serdadu,” ucap seorang serdadu sembari menariknya ke dalam kemah.
“Maaf Pak, aku hanyalah seorang pengecut,” Adi menundukkan wajahnya dengan muram.
“Hei, seorang serdadu adalah pengecut yang terus melawan nasibnya, jadi bangkitlah!”
Ya, kata yang cukup untuk menggugah seorang pengecut seperti Adi. Semenjak itu, dia masuk dan membaktikan dirinya sebagai serdadu yang tak kenal rasa takut.
***
Latihan fisik, mengikuti misi-misi, sesekali ikut andil dalam kecamuk pertarungan, itulah kehidupan yang ia jalani dalam waktu yang cukup lama. Lambat laun, ia menjadi orang kepercayaan pemimpin serdadu di bawah perintah raja. Suatu ketika, ia dipanggil oleh raja untuk mempercayakan kepadanya misi yang sangat penting.
“Hamba menghadap, Yang Mulia,” seru Adi sembari menundukkan diri.
“Jagalah putriku melewati hutan sampai kerajaan tetangga!” Perintah sang raja.
“Laksanakan,” saut Adi.
Tanpa melihat sang putri, Adi undur diri dari hadapan raja, menyiapkan pasukan yang akan menemaninya menyusuri hutan tanpa penghuni.
***
Sunyi, gelap, dan obor sebagai pencahayaan, adalah suasana yang menemani di tengah belantara hutan. Mengukuti setapak jalan, para serdadu berbaris rapi menjaga kereta kuda di tengah barisan. Adi, sang pemimpin pasukan berada di depan, melihat suasana yang memungkinkan mencekam kapan saja. Berjalan dengan fokus, mata yang menyusuri kanan-kiri, sesekali melihat arah belakang mungkin ada seseorang penyelinap.
Adi terlihat sedikit tenang karena sudah mencapai setengah perjalanan. Pasukan dihentikan sementara untuk istirahat. Adi terlihat ragu menghentikan pasukannya. “Sring!” shuriken kecil dari kedalaman hutan tiba-tiba menancap ke muka seorang serdadu. “Ninja!” suara seorang serdadu berteriak memberitahu serdadu lain. Adi dan pasukannya bersiap, mengamati pohon-pohon di sekitar mereka.
Shuriken berterbangan, beberapa berhasil melesat mengenai pasukan itu, beberapa tertepis oleh pedang-pedang yang menghalau. Adi seksama melihat, musuh berjumlah lima orang dengan kelincahan luar biasa meloncati ranting-ranting pohon. Dua mendekati, satu akan menyerang Adi, dan satu yang lain menyerang seorang yang ada di barisan belakang.
Kanan-kiri, pedang yang Adi ayunkan seakan tertepis oleh ninja itu. “Sedikit kesalahan di tengah pertarungan, akan merenggut nyawaku,” gumamnya. Adi terlihat memperbesar jarak dengan ninja itu dan langsung melempar pisau kecil yang dia bawa. Pisau kecil itu tertepis oleh ninja, dan membuat kesempatan besar bagi Adi untuk menghujam dengan pedangnya.
Satu mati, tiga yang lain mati, tinggal tersisa satu ninja yang masih meloncati dahan-dahan pohon. Sisa pasukan siaga untuk mempertahankan jumlah mereka. Shuriken masih saja berterbangan walaupun tinggal satu musuh. Sisa pasukan itu terlihat kelelahan, ninja itu menyelinap dan membunuh mereka satu persatu. Hingga tersisa Adi yang masih memegang erat pedangnya. Tiba-tiba sunyi, Adi dan ninja itu menghela napas sementara sebelum pertarungan terakhir. Ninja itu keluar dari semak-semak, mencoba menghujam Adi dengan katananya. Tertahan, Adi seakan lebih fokus bertarung sendirian.
Terus bertarung, hingga ninja itu sudah tak sabar untuk menculik sang putri yang berada di dalam kereta kuda. Ninja itu meloncat, ingin memasuki kereta. Membuka tirai, ninja tak sadar akan keberadaan Adi di belakangnya. “Srat!” suara tusukan yang dilayangkan Adi hingga menembus perut bagian depan sang ninja.
Menghela napas, “Apa kau baik-baik saja tuan put...”, ucapan Adi terhenti melihat wajah perempuan di depannya.
“Apa itu Kau?! Orang yang kukejar di pinggiran sungai saat itu?”
“Iya,” menjawab dengan perasaan malu.
Adi bahagia melihat apa yang ingin dia gapai di depannya. Ingin rasanya bertanya banyak hal, tapi dia memutuskan mengakhiri dengan ajakan kembali menuju kerajaan.
***
Sesampai di kerajaan, dia bergegas menuju ruangan sang raja untuk melaporkan. Setelah menjelaskan panjang lebar apa yang dia alami dengan pasukannya, raja memikirkan sesuatu sejenak.
“Apakah kamu bersedia menjadi pengawal pribadi putriku?” ucap raja.
“Laksanakan!” Adi terlihat bahagia mendengarnya.
Semenjak hari itu, setiap putri keluar kemanapun, Adi mengawal dengan sigap di sampingnya. Dan semenjak hari itu, mereka berdua lebih dekat terlepas kejadian-kejadian yang mereka alami.
***
Televisi terlihat menyala di ruang tamu sebuah rumah, berita kematian seseorang lugas diberitakan oleh seorang reporter.
“Ya, saya sekarang sedang berada di TKP. Diduga, seorang remaja mengakhiri hidupnya karena tertekan hidup sendirian di dalam rumah tingkat tiga di depan kita.”
Entah, apa yang diimpikan oleh remaja itu tersampai atau tidak, terlihat jelas game online bertemakan kerajaan masih menyala di sana.
Oleh: Zahro Ummi Nashiifah
Posting Komentar