Hari Ke-3
"Orang bodoh kalah dengan orang pintar, orang pintar kalah dengan orang pandai, orang pandai masih kalah dengan orang beruntung"
Aku adalah seorang pemimpi tapi aku bukanlah penakluk mimpi. Karena mimpi bisa mati jika ditaklukkan dan aku akan lelah jika hidup hanya untuk mengejar mimpi. Biarkan mimpi tetap ada untuk memotivasi dan mengembangkan diri. Usaha tetap harus diupayakan sampai pada cita-cita. Mimpi dan cita-cita merupakan suatu hal yang serupa tapi tak sama.
Untuk saat ini saya punya banyak sekali mimpi, dengan dua cita-cita, dan satu tujuan. Begitu juga teman-teman di Mesir pasti punya banyak sekali mimpi dan cita-cita yang ingin dicapai. Semoga kita sampai dan menggapai mimpi dan cita-cita kita.
***
Benua biru adalah sebutan dari benua Deutschland dan Jerman adalah nama negaranya. Disanalah sekarang aku berada. Sebenarnya Jerman bukanlah negara impianku. Sampai saat ini, aku masih berusaha keras untuk bisa bertahan di negeri Nazi ini dan terus berupaya menggapai jalan berikutnya, yaitu studi di Jerman.
Seperti kata pepatah di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Tak bisa keduanya dipisahkan, jika kau memercayainya. 5 Juli sekitar pukul 09.00 malam "Bismillah" ku tapakkan kakiku di atas tanah Jerman. Program yang saya ambil cukup berbeda dengan teman teman di Mesir. Aku harus berangkat dari Surabaya sampai di Jerman sendiri. Benar benar seorang diri. Kenyamanan, ketenangan harus kuciptakan sendiri. Menguatkan niat dan tangguhkan hati sendiri. Memegang pundak sendiri untuk menjaga kekokohan hati meninggalkan ibu pertiwi.
Ketika aku sampai di Jerman aku harus bisa beradaptasi dengan cepat, mengikuti rutinitas orang Jerman yang begitu cepat, disiplin, dan teliti. Aku harus tinggal bersama keluarga Jerman yang sering kita kenal dengan program homestay. Setiap harinya sudah harus terencana, mulai dari pekerjaan, bermain, olahraga, bahkan makan siang.
Aku mengikuti program homestay agar aku bisa praktik bahasa Jerman sehari-hari langsung dengan orang Jerman. Awalnya sangatlah sulit bagiku. Bahasa asing yang memang asing. Baru satu tahun aku mengenalnya dan mempelajarinya. Bahasa jerman juga bahasa yang kompleks. Jika digambarkan, gramatik bahasa Jerman seperti gabungan gramatik bahasa Inggris dan shorofiyah bahasa Arab. Kita harus men-tasrifkan kata kerja sesuai dengan subjeknya.
Selain tantangan bahasa sebagai kunci komunikasi, aku juga harus benar-benar bisa memposisikan diri dengan baik, khususnya sebagai kaum minoritas, sebagai orang Asia dan seorang Muslimah. Mental harus ditempa, keberanian harus diuji. Dimanapun harus berani tampil beda. Awalnya aku berpikir ini akan sulit dan lama untuk menghilangkan rasa terintimidasi karena penampilan dan keberbedaan. Namun tak disangka, Allah SWT mempermudah segalanya. Semakin aku mencoba, menguji, melawan rasa takut dan cemas, disitu Allah SWT semakin menunjukkan kebesaran dan keadilannya.
Dua hari di Jerman, aku belum terlalu berani keluar daerah tempat tinggalku. Karena takut, cemas, dan mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi. Selama itu aku berpikir, "Aku sudah ada di Jerman. Aku akan mencari ilmu dalam jangka waktu yang cukup lama. Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana hebatnya orang-orang jerman. Tidak hanya bertahan hidup tapi juga berkompetisi. Jika aku tak berjalan dan berlari, bisakah aku sampai pada tujuanku?"
Lalu di hari ketiga itu, aku memutuskan untuk pergi ke kota. Jujur saja, ketika itu mentalku masih lemah dengan keberadaanku sebagai minoritas perempuan behijab. Kuberjalan menuju stasiun kereta. Disanalah aku melihat kios kebab dengan pelayan perempuan yang berhijab. Untuk pertama kalinya bertemu dengan perempuan berhijab. Saling tegur sapa hangat, "Assalamualaikum" "Waalaikumussalam". Alhamdulillaah hal sekecil itulah yang justru membangun kepercayaan dan membuktikan betapa besarnya Allah SWT, betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Penyayang. Dan ketika sampai di kota. Tak begitu kusangka, banyak kutemui saudara-saudara seagamaku. Dengan pakaian sopannya, konsistennya mengenakan jilbab diterik matahari yang menyengat.
Banyak sekali cerita di Jerman yang bisa menguatkan hati, namun terkadang juga menggoyahkan hati. Namun ketika hati goyah, pegangan satu-satunya yang terkuat dan Maha Kuat adalah Allah SWT. Mimpi dan cita-cita adalah tangga menuju rida Allah SWT. Insya Allaah.
Oleh: Ulvi Faiqotul Hikmah
Posting Komentar