Falsafah “Urip Iku Urup” sebagai Way of Life


Saat ini, semua orang berlomba-lomba hidup enak, tetapi lupa untuk hidup "menyala". Arus perubahan zaman meniscayakan perubahan gaya hidup masyarakat. Perubahan itu menjadikan masyarakat seakan tak peduli dan merasa tak perlu mempertimbangkan kehidupan sosial mereka karena sudah mampu memenuhi kebutuhan pribadi masing-masing. Padahal, sebagai makhluk sosial, manusia seharusnya memberi warna dan cahaya pada lingkungan sekitarnya, dan tidak terjebak dalam "kegelapan" serta egosentrisme.

Tanpa banyak yang disadari, persoalan egosentrisme ini bermula dari lingkup paling kecil, yaitu diri sendiri. Munculnya egosentrisme berasal dari keinginan setiap individu untuk tampil, dilihat, dan diperhatikan oleh sekitarnya. Setiap individu berpotensi terjangkit egosentrisme. Oleh karena itu, kesadaran dalam menafsirkan kehidupan perlu dimiliki oleh setiap pribadi agar ia mengerti bahwa kehidupan yang dijalani tidak sekadar berpusat pada dirinya, melainkan juga atas kontribusi pihak lain.

Hidup akan terasa kurang jikalau hanya berbicara tentang diri sendiri. Hidup yang sejati adalah ketika kita bisa “menyala”, yaitu ketika aksi dan kebaikan kita ikut menerangi orang di sekitar, ikut mencerahkan hati orang lain, ikut memanusiakan sesama. Maka, hidup yang “menyala” ialah di mana kita dapat mencari ruang untuk berbagi kepedulian, bukan untuk menerima kepedulian orang lain saja. Hidup itu bukan hanya mengambil, melainkan juga memberi. Bukan hanya memiliki, tetapi juga mengalir.

Sudahkah kita bertanya terhadap nurani kita? Apakah kita sudah menerangi (memberi kontribusi), atau justru hadir sebagai kegelapan yang butuh diterangi? Sebab, jika kita pun hidup dalam ego, nafsu individualism, dan menutup diri (kegelapan), maka kita tidak akan menjadi sumber penerang. Namun, jika kita "menyala", meskipun sedikit, itu cukup untuk menjadi titik terang saat simpati dapat dibagi dan empati dapat dirasakan, dan rasa peduli tumbuh anatarsesama.

Egosentrisme dapat tumbuh pada siapa pun apabila seseorang belum memahami hakikat kehidupan dan tidak memiliki falsafah hidup sebagai pegangannya. Karena setiap manusia memiliki potensi terjangkit egosentrisme, maka memastikan diri agar tidak terjebak dalam lubang nafsu (kegelapan) itu merupakan langkah menuju diri yang “menyala” dan bermanfaat bagi sekitar. Persoalan ini mengingatkanku pada sebuah falsafah Jawa berbunyi “Urip Iku Urup”. Falsafah yang terasa sangat dekat apabila membahas bagaimana menciptakan suatu kehidupan yang bermanfaat. Falsafah yang umum terdengar, tetapi banyak yang telah meninggalkannya. Padahal, maknanya begitu dalam dan mengakar.

“Urip Iku Urup” bukan sekadar metafora puitis, tetapi panggilan moral bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang orang lain. Budaya dan adat istiadat Jawa sering kali mengajarkan nilai kebermanfaatan mulai dari kegiatan yang bercorak sosial. Kegiatan tersebut didasari atas semangat kebersamaan dan rasa kepedulian antarsesama dan berbagi kebahagiaan. Hal tersebut menjadikan falsafah ini mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, dan tercermin melalui kehidupan sosial mereka. Bahkan, hingga saat ini masih dijadikan sebagai way of life.

"Urip Iku Urup" yang memiliki arti hidup itu menyala perlu pemaknaan lebih jauh untuk mendapatkan makna yang lebih lengkap. Emha Ainun Nadjib atau yang sering disapa Cak Nun, seorang budayawan dan cendekiawan, beliau memiliki tafsiran tersendiri terhadap makna falsafah tersebut. Menurutnya, di zaman ini, orang-orang lebih berminat mengajari generasinya dengan bebas memilih, diajari untuk menjadi diri sendiri, tetapi mereka tidak dikenalkan makna 'diri' itu yang mana, yang bagaimana, seperti apa, berapa luas dimensinya, berapa banyak layer-layer abstraksinya, dari mana dan mau ke mana, apa tujuannya, apa bekalnya.

Dari pemaknaan itu, kita dapat mengetahui bahwa sejatinya manusia dituntut tidak hanya selesai dengan dirinya saja, tetapi juga bagaimana memberi kebermanfaatan untuk manusia di sekitarnya. Sejalan dengan hal tersebut, Dr. Fakhruddin Faiz, pengasuh Majelis Ngaji Filsafat, memaknai lebih jauh lagi falsafah tersebut, bahwa hidup itu bukan hanya berfokus pada kehidupan diri sendiri, tetapi juga membagi nafas kehidupan bagi orang lain melalui kepedulian dan empati. Inilah yang disebut sebagai falsafah “Urip Iku Urup”. Nilai ini menjadi jawaban lama atas berbagai masalah yang ditimbulkan oleh egosentrisme dan individualisme yang cukup mengakar pada jati diri masyarakat pasca modern saat ini. Oleh karena itu, dengan memegang nilai-nilai falsafah ini, interaksi sosial akan menjadi terasa dekat dan sarat makna.

Dari falsafah ini, kita setidaknya mampu mengambil pelajaran penting, yaitu setiap insan seyogianya memahami bahwa hidup bermakna ialah hidup yang berbagi terang. Terang kehidupan tak selayaknya padam oleh gelapnya ego dan individualistis, tetapi perlu diwariskan dan dijaga bersama. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan masyarakat yang individualis, nilai luhur ini cukup menjadi pijakan bahwa kesejatian hidup dilewati melalui berbagi manfaat dan menumbuhkan kebersamaan. Kehidupan bersama antarmasyarakat dan kepedulian yang tumbuh di dalamnya dapat melewati batas waktu dan zaman, jika nilai-nilai falsafah ini terus diwariskan dan direalisasikan dalam seni kehidupan bermasyarakat.

Redaktur : Sultan Abiyyu Almay
Editor : Muhammad Reza Pahlevi

Posting Komentar

To Top