Pentingnya Pendekatan AntarMazhab
Tulisan Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Anggota Ulama Senior al-Azhar
*Diterjemahkan dari Majalah al-Azhar edisi Syawal 1446 H/April 2025 M
HAL terpenting yang harus diperhatikan oleh umat Islam adalah persatuan, sebab perpecahan dan perbedaan dapat membahayakan mereka. Keadaan tersebut dapat menjadi sumber kehancuran dan kelemahan umat Islam atas musuh-musuhnya.
Tidak ada yang lebih berbahaya dari kerusakan, perselisihan, dan perpecahan antarsesama yang bersumber dari dalam umat Islam itu sendiri. Sesuatu tersebut akan sangat membahayakan bagi mereka jika berhubungan secara langsung dengan akidah dan ibadah. Akibatnya, umat dapat terpecah belah menjadi beberapa golongan karena mereka tidak memiliki prinsip yang sama sehingga setiap golongan berpegang pada prinsip yang berbeda-beda.
Hal itu menyebabkan umat Islam semakin lemah dan tak berdaya sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Umat-umat lain akan segera berkumpul menyerang kalian seperti orang-orang yang berkumpul untuk makan dari sebuah piring. Lalu ada yang bertanya: “Apakah karena jumlah kami sedikit wahai rasulullah?” Rasul menjawab: “Tidak, jumlah kalian saat itu banyak tetapi kalian seperti buih di atas air banjir. Allah Akan menghilangkan rasa takut dari hati musuh-musuh kalian terhadap kalian, dan Allah akan melemparkan kelemahan ke dalam hati kalian.” Lalu ada yang bertanya lagi: “Kelemahan apa wahai Rasulullah?” Rasul menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.”” [HR. Abu Daud, dari Hadits Tsauban RA, No: 4297]
Di al-Qur’an juga telah disebutkan betapa pentingnya persatuan umat Islam itu. Di dalamnya dijelaskan bahwa manusia berasal dari ayah dan ibu yang sama. “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha teliti.” {Qs. Al-Hujurat: 13}.
Umat Islam disatukan oleh banyak kesamaan dalam beragama: menyembah Tuhan yang maha esa, meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah penutup para nabi dan rasul, menghadap kiblat yang sama ketika salat 5 waktu, berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunah sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw.: “Aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan pernah tersesat setelah aku: kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunahku” [HR. Tirmidzi, dari hadits Zaid bin Arqom RA, nomor: 3788].
Mereka tidak akan berselisih dan terpecah belah selama berpegang teguh pada perintah Allah Swt., Rasulullah saw., al-Qur’an dan Sunah, sebab perpecahan itu sejatinya muncul karena jauhnya umat Islam dari hal-hal tersebut. Jauhnya mereka dari Allah dan Rasulnya memberikan kesempatan dan membuka pintu terhadap para musuh Islam untuk memorak-porandakan Islam dari dalam. Sudah barang tentu, perpecahan dan perselisihan itu semakin memudahkan mereka untuk menghancurkan Islam.
Dulu, musuh-musuh umat Islam mencoba membuat fitnah antara suku Aus dan Khazraj agar mereka terpecah belah. Padahal, Islam telah menyatukan mereka atas dasar keesaan dan keimanan. Akan tetapi, mereka tidak berhasil melakukannya, sebab itu mengingatkan kaum muslimin pada hari kebangkitan serta apa yang telah mereka lalui, mulai dari peperangan hingga penderitaan-penderitaan yang lain, sampai Nabi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian Nabi mendatangi mereka dan berkata: “Apakah kalian ingin kembali ke masa jahiliyah sementara aku masih berada di antara kalian? Tinggalkanlah hal itu, karena itu adalah sesuatu yang busuk.” Pada akhirnya, mereka tersadar, menangis, dan saling berpelukan.
Di sisi lain, al-Qur’an telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada agama dan kitab Allah, bukan pada ajaran Barat ataupun Timur, tetapi terhadap agama dan kitab Allah. Allah berfirman pada surat Ali Imran ayat 103: “Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”
Perbedaan yang terjadi di antara kaum muslimin bukanlah perbedaan dalam segi iman dan akidah, bukan juga perbedaan dalam rukun Islam, juga bukan terhadap sesuatu yang sudah maklum dalam agama, melainkan perbedaan terhadap cabang-cabangnya. Sebagian besar perbedaan itu hanya berfokus pada apa yang lebih utama dan tidak. Itu semua terjadi karena sebatas perbedaan pemahaman mereka saja.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengatakan bahwa dasar persatuan antara kaum muslimin terletak pada apa yang disebut Syekh Rasyid Ridho sebagai prinsip kebersamaan: “Kita saling bekerja sama terhadap sesuatu yang telah kita sepakati dan saling memaafkan terhadap sesuatu yang berbeda di antara kita.” Saling memahami dan menoleransi merupakan hal penting untuk menyatukan perbedaan. Justru menutupi dan memendam itu semua akan membawa mereka terhadap perselisihan dan perpecahan yang mendalam, seperti seseorang yang sakit sedang dia mengira dirinya sehat, maka penyakitnya akan terus bertambah.
Cara yang paling penting untuk mendekatkan atau menyatukan antara mazhab adalah pertemuan para tokoh-tokoh mazhab itu untuk menghilangkan segala gerakan atau perbuatan yang dapat menyebabkan perbedaan dan perpecahan. Di sisi lain, kita juga harus berusaha menyebarkan toleransi, komunikasi, dan kasih sayang.
Lebih dari itu, beberapa cara lain yang dapat menyatukan perbedaan antarmazhab adalah mengikatkan diri pada jamaah umat muslim yang di dalamnya tidak satupun dari mereka ingin memecah belah umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah, kemudan dia mati, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah dan barangsiapa yang berperang di bawah bendera yang tidak jelas karena membela kelompok atau mengajak kepada suatu kelompok kemudian dia terbunuh maka dia mati dalam keadaan jahiliyah dan barang siapa yang keluar dari umatku, membentur baik dan buruk, tidak menghormati orang yang beriman, dan tidak menepati janji dengan orang yang memiliki perjanjian, maka dia tidak termasuk golonganku dan aku tidak termasuk golongannya.” [HR. Muslim, dari hadits Abi Hurairah RA, No: 1848]
Al-Qur’an juga menetapkan bahwa umat Islam adalah umat yang satu: “Sesungguhnya ini (agama tauhid) adalah agamamu, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu. Maka, sembahlah aku.” {Qs. Al-Anbiya’: 92} Untuk menjaga keutuhan umat, Allah Swt. memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya dan Rasul-Nya serta melarang kita untuk melakukan perpecahan yang dapat menyebabkan kekalahan. “Taatilah Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, serta bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” {Qs. Al-Anfal: 46} Rasulullah juga melarang umat muslim untuk membunuh satu sama lain karena ketika mereka melakukan hal tersebut maka sama saja mereka melakukan suatu perkara yang dilakukan oleh kaum kafir jahiliyah. “Bukan dari golongan kami orang yang fanatik terhadap kesukuan (asabiyah).” [HR. Abu Daud, dari Hadits Jabir bin Muth’im RA, No: 5121]
Islam sangat menekankan nilai-nilai toleransi yang moderat. Maka dalam mendakwahkan Islam seyogyanya kita meneladani apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw.: “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat.” [HR. Bukhori, dari Hadits Malik bin Huwairith RA, No: 6008], dan “Contohlah aku dalam tata cara ibadah haji kalian.” [HR. Nasa’i, dari Jabir bin Abdillah, No: 3062]
Ulama-ulama terdahulu juga telah menerapkan nilai-nilai tersebut. Imam Syafi’I misalnya. Beliau pernah melaksanakan salat subuh di masjid Imam Abi Hanifah, tetapi di rakaat kedua beliau tidak membaca doa qunut. Seseorang kemudian menegur beliau dan berkata: “Bukankah doa qunut itu termasuk dalam sunahmu?” Kemudian beliau menjawab: “Aku tidak akan menyelisihi Abu Hanifah ketika aku berada di hadapannya atau di tempatnya.” Dari sini kita dapat melihat bahwa Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap pendapatnya. Beliau justru mengikuti pendapat Abi Hanifah dalam keadaan tertentu.
Begitu pula apa yang dilakukan oleh Imam Malik ketika beliau diperintahkan oleh seorang khalifah untuk menulis sebuah kitab yang menghindari kerasnya Abdullah bin Umar, keringanan Abdullah bin Abbas, dan keanehan Abdullah bin Mas’ud dengan tujuan untuk mencapai ilmu yang moderat (berada di tengah-tengah). Ketika beliau telah menulis kitabnya, Muwattha’, para ulama zaman itu kagum denga napa yang ditulis oleh Imam Malik. Oleh karena itu, khalifah ingin kitab tersebut dijadikan rujukan oleh umat Islam secara keseluruhan, lantas Imam Malik berkata: “Tidak bisa seperti itu wahai Amirul Mukminin karena sahabat Rasulullah saw. tersebar di berbagai tempat sehingga apa yang mereka punya belum tentu dipunyai oleh yang lain, maka biarkanlah mereka memilih apa yang sesuai dengan keadaan dan zaman mereka, selama hal tersebut tidak menentang kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.”
Kemudian, beliau juga berkata: “Sesungguhnya perbedaan di antara para ulama itu dikarenakan masing-masing dari mereka melihat apa yang benar menurut mereka, sebab yang mereka tuju hanyalah rida Allah.”
Kalau kita kembali pada al-Qur’an dan Sunah, maka kita akan mendapati bagaimana cara menghindari perbedaan. Apapun yang datang Allah dan kitab-Nya tidak mungkin ada perbedaan. Sedangkan apa yang dari selain Allah, maka di situ akan ada perbedaan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Tidakkah mereka menadaburi al-Qur’an? Seandainya al-Qur’an itu tidak dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” {Qs. An-Nisa: 82}
Allah telah memberi petunjuk kepada kita ketika terjadi suatu perbedaan, kita harus mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Swt.: “… Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya) ….” {Qs. An-Nisa: 59}
Begitulah Syariat Islam, ia menjelaskan tentang pentingnya pendekatan antara mazhab serta menolak perpecahan dan perbedaan agar umat Islam bersatu. Semoga Allah memberikan taufik.
Penerjemah: Arifatun Nisa Birizqil Adhim
Penyunting: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid
Posting Komentar