Tantangan Dakwah dan Produktivitas Masisir 5.0


Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan gelombang digitalisasi global, dunia tengah memasuki era baru yang dikenal sebagai Society 5.0—sebuah konsep masyarakat yang menggabungkan kecanggihan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam lanskap ini, ukuran produktivitas tidak lagi sekadar diukur dari kehadiran fisik atau keterlibatan langsung dalam aktivitas keilmuan tradisional. Kontribusi berbasis digital kini menjadi salah satu indikator utama dalam menilai sejauh mana seseorang memberi dampak nyata.

Perubahan ini bukan hanya memengaruhi dunia kerja atau ekonomi, tetapi juga menyentuh bidang keilmuan dan dakwah. Dalam lingkup mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir), aktivitas tersebut kerap diukur dari intensitas hadir dalam majelis talaki, rutinitas kuliah, atau diskusi ilmiah. Konteks zaman yang terus berubah memerlukan parameter yang berbeda pula dalam memaknai dan menilainya.

Aktivitas di atas tetap esensial sebagai akar intelektual dan bekal dakwah. Namun, di era Society 5.0, bentuk produktivitas itu perlu diperluas—tidak hanya sebatas menerima ilmu, tetapi juga menyebarkannya melalui medium yang relevan dengan dunia hari ini: melalui konten edukatif, tulisan reflektif hingga video pendek yang menjangkau linimasa (fyp). Denagn ini, Masisir mampu mengambil peran aktif dalam menyuarakan nilai-nilai moderat ala al-Azhar.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa produktivitas digital tidak dapat berdiri sendiri tanpa fondasi keilmuan yang kokoh. Dakwah melalui media sosial tetap harus bertumpu pada ilmu yang diperoleh dari talaki dan kajian mendalam terhadap teks dan realitas. Tanpa itu, pesan yang disampaikan berisiko kehilangan substansi, bahkan menyimpang dari roh keilmuan al-Azhar. Di sinilah letak tantangan Masisir hari ini. Bagaimana menjadikan produktivitas belajar sebagai sumber otoritatif dakwah digital sehingga bukan sekadar hiasan intelektual saja? Produktivitas tersebut merupakan titik tolak yang perlu dihidupkan dalam “gaya” yang lebih segar dan komunikatif.

Dengan bekal keilmuan yang diperoleh, Masisir punya potensi besar untuk menjadi penyambung nilai Islam moderat ke masyarakat luas. Namun, agar potensi itu terwujud maksimal, dibutuhkan lebih dari sekadar keilmuan dan kemauan berdakwah. Masisir perlu memahami cara kerja algoritma, selera pasar konten, serta strategi penyampaian dakwah yang efektif dan menarik. Inilah yang mendasari perlunya pelatihan dakwah digital. Forum yang tidak hanya mengajarkan teknis produksi konten, tetapi juga mendampingi Masisir dalam menjaga integritas ilmiah saat berdakwah di ruang publik digital.

Di era ini, dakwah Islam tidak lagi terbatas pada ruang fisik, melainkan telah menjangkau media sosial, dan forum daring lintas negara. Hal ini membuka gerbong baru bagi penyebaran nilai-nilai Islam yang moderat ala al-Azhar. Namun, sejauh ini, potensi itu belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh Masisir. Di tengah arus informasi yang kian padat dan cepat, ruang dakwah digital justru sering kali dipenuhi oleh narasi dangkal, provokatif, atau bahkan keliru secara keilmuan. Maka, kehadiran konten dakwah yang menyiarkan ajaran-ajaran al-Azhar menjadi kebutuhan mendesak bukan sekadar alternatif, bahkan menjadi keharusan.

Pandangan ini diperkuat oleh Risman dan Hidayat (2020) dalam jurnal Transformasi Dakwah Islam di Era Digital yang menyatakan bahwa digitalisasi membuka peluang dakwah yang lebih luas, interaktif, dan mampu menjangkau audiens lebih luas selama tetap menjaga orisinalitas pesan agama. Hal ini menegaskan bahwa keberhasilan dakwah digital tidak cukup hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga memerlukan kedalaman isi. Dalam konteks ini, dakwah digital bukanlah bentuk dakwah sekunder, ia justru menjadi wajah baru dari penyebaran nilai Islam yang harus direalisasikan. Tanpa kehadiran konten dakwah yang membawa nilai-nilai keislaman yang benar, ruang digital akan terus dikuasai oleh narasi miskin substansi dan rawan disalahpahami.

Menyebarkan nilai-nilai Islam melalui media digital bukanlah penyimpangan dari tradisi, justru merupakan bentuk adaptasi kreatif yang tetap sejalan dengan visi besar al-Azhar. Sebagai salah satu lembaga Islam tertua yang konsisten menyuarakan Islam moderat dan toleransi, al-Azhar tidak hanya dikenal karena kedalaman keilmuannya, tetapi juga misi besarnya untuk menyebarkan nilai-nilai tersebut ke penjuru dunia. Sebagaimana ditegaskan dalam dokumen resmi al-Azhar: Declaration on Citizenship and Coexistence (2017). Al-Azhar menyerukan penyebaran nilai-nilai kebangsaan, perdamaian, dan keadilan sosial melalui berbagai media yang dapat menjangkau masyarakat global.

Dakwah digital, jika dilakukan dengan menggandeng ajaran al-Azhar akan menjadi salah satu medium yang relevan sebagai misi yang perlu dijalankan oleh Masisir. Mereka yang tergerak untuk berdakwah di dunia digital tanpa meninggalkan kedalaman narasi keislaman berpotensi besar menjadi duta intelektual al-Azhar. Dengan kata lain, aktivitas seperti menulis esai populer, membuat konten edukatif atau mengelola dakwah berbasis digital bukan sekadar kegiatan tambahan, tetapi bagian dari peran besar Masisir sebagai penyambung nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Inilah bentuk produktivitas baru, bukan sekadar duduk menyimak, tetapi bergerak menyuarakan—dengan ilmu sebagai dasar dan teknologi sebagai jembatan.

Tantangan zaman memaksa Masisir—sebagai peneliti diskursus keislaman dan pegiat intelektual—yang tidak hanya mengerti teks, tetapi juga memahami konteks. Tidak hanya duduk di halaqah, tetapi juga hadir di linimasa. Tidak hanya cakap bicara di majelis, tetapi juga fasih menyampaikan di ruang digital yang hiruk dan lapar makna. Untuk itu, perlu disadari bahwa kemampuan digital bukan bawaan alamiah ia butuh dibentuk. Salah satu solusi yang mendesak adalah penyelenggaraan pelatihan dakwah digital dan literasi media yang terstruktur bagi Masisir.

Maka, perubahan “gaya” dakwah dan pemaknaan produktivitas Masisir 5.0 bukan sekadar pilihan, melainkan keniscayaan. Saatnya Masisir menulis, berbicara, dan bersuara. Di era ini, medan dakwah butuh mereka yang belajar dan mau untuk menyuarakan, bukan mereka yang hanya sibuk belajar dalam diam. Diam bukan lagi bentuk tawaduk jika yang kosong justru paling lantang bersuara. Kontribusi Masisir di era society 5.0 harus hadir dan terdengar.

Daftar Pustaka
1. Risman, A., & Hidayat, A. (2020). Transformasi Dakwah Islam di Era Digital. Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, 12(1), 45–60.
2. Al-Azhar. (2017). Al-Azhar Declaration on Citizenship and Coexistence. Cairo: Al-Azhar Observatory for Combating Extremism.
3. Prasetyo, E., & Trisyani, Y. (2020). Peran Generasi Muda dalam Menyebarkan Nilai Keislaman melalui Media Digital. Jurnal Komunikasi Islam, 8(2), 123–135.
4. Rahmawati, I. (2021). Literasi Media Sosial bagi Mahasiswa: Antara Etika dan Efektivitas Dakwah Digital. Jurnal Tarbiyah Islamiyah, 5(3), 201–215.

Redaktur : Nahdhiyan Nabila Izzati
Editor : Muhammad Reza Pahlevi

Posting Komentar

To Top