Dakwah dan Da’i
Tulisan Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Anggota Ulama Senior al-Azhar
*Diterjemahkan dari Majalah al-Azhar edisi Syakban 1446 H/Februari 2025 M
Allah Swt. telah menjadikan kita sebagai umat Nabi Muhammad saw—umat Islam akhir zaman—yang memiliki tanggung jawab untuk berdakwah serta menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru dunia.
Jika umat nabi-nabi terdahulu hanya memiliki tanggung jawab beribadah saja, maka umat Nabi Muhammad memiliki tanggung jawab yang lebih daripada itu, yakni beribadah dan menyebarkan agama Islam. Hal ini dikarenakan risalah nabi terdahulu hanya dikhususkan untuk umat tertentu saja. Jika berakhir, maka akan digantikan dengan risalah yang lain, dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, umat-umat terdahulu hanya diperintah untuk beribadah tanpa menyebarkan.
﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ ﴾ (البينة: 5)
“Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dengan hanif (istikamah).” (QS. al-Bayyinah: 5)
Berbeda dengan Nabi Muhammad. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Risalahnya abadi sepanjang zaman, meski beliau telah wafat. Oleh karena itu, umat Nabi Muhammad saw. memiliki tugas untuk terus menjaga dan menyebarkan risalahnya kepada generasi-generasi seterusnya.
﴿ وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ﴾ (آل عمران: 104)
“Hendaklah ada di antara kamu suatu golongan yang menyeru kepada kebaikan, perbuatan makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. Ali ‘Imran: 104].
Lebih dari itu, mereka harus menyebarkan kalam Allah yang berbahasa Arab dengan pemahamannya yang benar. Dalam suatu Hadist disebutkan “bahwa ada tiga golongan pertama yang akan dihakimi pada hari kiamat….kemudian disebutkan salah satu dari mereka adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta pembaca (qori’) al-Qur’an. Dari sana, mereka mendapatkan suatu kenikmatan dan penghidupan. Kemudian ia ditanya: ‘Apa yang telah kau perbuat dengan semua itu?’ Seseorang tersebut menjawab: ‘Ku pergunakan untuk menuntut ilmu, mengajarkannya, dan membacakan ayat-ayat al-Qur’an dihadapan banyak orang’. Kemudian ditanggapi: ‘Bohong! Kau hanya belajar agar dianggap sebagai orang alim. Kau juga membaca al-Qur’an hanya agar dianggap seorang qori’. Kemudian dia diseret dan dilemparkan ke neraka.” [HR. Muslim, No: 1905 dari Sulaiman bin Yasar].
Seorang da’i hendaknya memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, memahami al-Qur’an dan Sunah, fikih dan sejarah Nabi, beserta seluruh keilmuan agama dan bahasa Arab, juga kebudayaan. Lebih dari itu, seorang da’i seyogianya memahami dan mengetahui secara mendalam siapa yang sedang didakwahi, mulai dari keadaan dan tradisi mereka, karena setiap umat memiliki cara yang berbeda-beda untuk dapat menerima dakwah.
Seorang da’i juga harus memiliki kecakapan dan kompetensi yang cukup, sehingga ketika dihadapkan dengan orang-orang yang tersesat (batil), ia dapat memberikan petunjuk berlandaskan pada ilmu, iman, dan pengetahuan yang benar. Dengan begitu, ia layaknya seorang dokter: memberikan obat dengan dosis yang tepat, tidak kelebihan dan kekurangan sehingga tidak membahayakan pasiennya. Oleh karena itu, amanah dakwah tidak boleh dilakukan atau diberikan kepada seorang da’i yang tidak memiliki kecakapan dan kompetensi agar tidak menyesatkan orang lain.
Dalam menyampaikan dakwah, seorang da’i harus meneladani cara-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’an.
﴿ اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ﴾ (النحل: 124)
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.” (al-Nahl: 125).
Seseorang yang senantiasa mengikuti dan berpegang teguh pada kebenaran, hendaknya didakwahi dengan bijak. Sedangkan seseorang yang meyakini suatu kebenaran, tetapi tidak mengamalkan dan melenceng jauh darinya, dinasehati dengan cara-cara yang baik, hingga ia menyadari kebenaran itu dan menerapkannya. Adapun orang yang ingkar terhadap kebenaran, hendaknya ditanggapi dengan diskusi yang bijak. Dalam menghadapi seseorang yang demikian itu, seorang da’i harus bertindak dengan penuh kesabaran, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. dan para nabi terdahulu, sembari menyerahkan semua urusan itu kepada Allah Swt.
﴿ وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوْا عَلٰى مَا كُذِّبُوْا وَاُوْذُوْا حَتّٰٓى اَتٰىهُمْ نَصْرُنَاۚ وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِ اللّٰهِۚ وَلَقَدْ جَاۤءَكَ مِنْ نَّبَإِ۟ى الْمُرْسَلِيْنَ ﴾ (الأنعام: 34)
“Sungguh rasul-rasul sebelum engkau pun telah didustakan, lalu mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tidak ada yang dapat mengubah kalimāt Allah. Sungguh, telah datang kepadamu sebagian berita rasul-rasul itu.” (QS. al-An’am: 34)
Di dalam ayat ini terdapat janji akan pertolongan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw., para rasul terdahulu, para pengikutnya, para ulama, dan para da’i. “Tidak ada yang dapat mengubah firman Allah”. Mengenai ayat ini, Ibnu Abbas menyatakan bahwa ayat tersebut adalah penguat akan datangnya janji pertolongan Allah Swt. kepada mereka.
Dalam berdakwah, seorang da’i juga seyogianya bersikap lemah lembut, menyederhanakan suatu perkara, dan tidak mencela seseorang dengan semena-mena agar sikapnya itu tidak dijadikan senjata bagi orang-orang yang ingin menjatuhkan Islam.
﴿ وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍۗ ﴾ (الأنعام: 108)
"Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan.” (QS. al-An’am: 108).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai sebab turunnya ayat ini: ketika kafir Quraisy berkata kepada Abi Thalib: “Katakan kepada Muhammad agar berhenti mencela tuhan kami, atau kami akan mencela dan mencaci maki Tuhannya.” Maka turunlah ayat tersebut. Sedangkan dalam riwayat lain dikatakan, ketika kaum musyrikin berkata kepada Nabi Muhammad saw.: “Muhammad, berhentilah mencela tuhan kami, atau kami akan mencaci balik Tuhanmu,” kemudian ayat tersebut turun.
Seorang da’i juga harus menjaga adab serta sopan santun ketika berdakwah, tidak mengungkapkan kata-kata yang keras dan kasar. Diceritakan bahwa Khalifah al-Makmun pernah menegur penasehatnya ketika bersikap kasar: “Bersikaplah lemah lembut! Sesungguhnya Allah telah mengutus seseorang yang lebih baik darimu kepada orang yang lebih buruk dariku, kemudian memerintahkannya untuk bersikap lemah lembut.
﴿ فَقُوْلَا لَه قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّه يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى ﴾ (طه: 44)
"Berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (Thaha: 44)
Selain itu, ia juga harus berbicara sesuai dengan kadar pemahaman pendengar dan tidak berbicara melebihi kapasitas pemahamannya. Ia juga hendaknya membahas permasalahan-permasalahan yang timbul dan sering muncul di masyarakat sekaligus berupaya untuk memberikan solusi dan mencarikan akar penyelesaiannya dengan cara yang tepat dan meyakinkan.
Dalam menasehati seseorang tertentu, da’i tidak diperkenankan untuk melakukannya dihadapan publik, karena hal yang demikian itu merupakan perbuatan tercela. Orang-orang yang menasehati saudaranya secara diam-diam, sungguh dia telah bersikap bijak. Sebaliknya, orang-orang yang menasehati saudaranya di depan umum, sungguh dia telah berbuat tercela. Sebaik-baik teladan dalam hal ini adalah Rasulullah saw. Ketika seseorang meminta nasehat beliau, Rasulullah tidak mengungkapkannya di depan umum, tetapi cukup berkata: “Mengapa beberapa orang berkata dan bertindak demikian.” [HR. Abu Daud, No: 4788 dari Aisyah].
Yang demikian itu merupakan contoh dari sempurnanya akhlak, perasaaan, dan kelemahlembutan yang dimiliki Nabi Muhammad saw. Nabi tidak pernah bersikap lemah lembut kecuali terhadap sesuatu yang baik, juga tidak pernah bersikap menentang kecuali terhadap sesuatu yang tercela. Oleh karena itu, seorang da’i hendaknya mengambil suatu pelajaran dan hikmah dari peristiwa yang tengah terjadi di masyarakat maupun dari kejadian-kejadian yang telah berlalu.
Seringkali, pembahasan dan pembicaraan yang disampaikan dalam dakwah terlalu panjang, sehingga dapat membuat pendengar merasa bosan. Hal itu juga seringkali membuat pembahasan keluar jauh dari konteks atau fokus utamanya. Oleh karena itu, hendaknya seorang da’i mengatur tempo dan waktu dalam menyampaikan suatu pembahasan, karena penyampaian yang terlalu lama dapat membuat pendengar lupa terhadap materi yang disampaikan.
Seorang da’i juga harus merujuk pada kitab-kitab hadis yang muktamad serta mengetahui perbedaan antara hadist nabi dan hadist qudsi, hadist palsu dan hadist daif. Ia juga harus fasih dan tidak terbata-bata dalam menyampaikan dakwahnya. Seorang da’i, dalam berdakwah, wajib mengintegrasikan antara keimanan dan keilmuan, juga antara penyampaian dan tindakan sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Fushshilat ayat 33.
﴿ وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ﴾ (فصلت: 33)
“Siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang-orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” (QS. Fushshilat: 33)
Penerjemah: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid
Posting Komentar