Dampak Peralihan Zaman


 

Aleksandria pernah menjadi ibu kota Dinasti Ptoleamik, pusat peradaban dan perdagangan Yunani di Mesir. Kota ini memiliki peninggalan histori yang menarik untuk diulik. Kota yang ditaklukkan oleh Raja Makedonia, Alexander The Great, pada sekitar tahun 331 dan 332 SM. Kemajuan pada zaman tersebut ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pemikiran. Klaim itu diperkuat dengan banyaknya bangunan bersejarah, seperti Catacombs of Kom el Shoqafa, Ancient Roman Amphitheater, dan Citadel of Qaitbay. Banyak peninggalan masa itu yang juga tersaji dan disimpan di Museum Nasional Aleksandria.

Bangunan museum yang memuat banyak artefak ini terbagi menjadi 3 lantai dengan perincian berdasarkan zaman: lantai 1 (ruang bawah tanah) memuat peninggalan dari masa Firaun. Kemudian di lantai 2 terdapat peninggalan pada masa Yunani-Romawi. Sedangkan di lantai 3, menampilkan peninggalan pada periode Islam-Kristen. Peninggalan yang terpampang rapi di setiap lantainya pun membuat saya terkesan. Ternyata pemikiran dan kebudayaan orang pada zaman dahulu tidak kalah hebat dengan zaman sekarang, bahkan peninggalannya seolah lebih bernilai.

Berangkat dari sana, saya terbayang bahwa peradaban Yunani Kuno pada masanya memang banyak melahirkan dan menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan modern saat ini. Salah satu bukti konkritnya adalah berkembangya ilmu filsafat—pada masa itu memang dianggap sebagai golden era filsafat—yang sangat signifikan. Nantinya, peradaban ini yang akan menjadi dan membawa paradigma baru bagi setiap ilmu pengetahuan.

Peradaban masa itu juga mampu melahirkan karya-karya ilmiah yang fenomenal dan barangkali masih digunakan hingga saat ini. Salah satunya adalah dengan lahirnya metode mengajar Maieutik yang dicetuskan oleh Socrates. Metode tersebut bertujuan untuk melatih berpikir kritis dalam menghadapi atau memahami sesuatu sehingga ia tidak hanya memberikan gambaran yang definitif saja, tetapi juga rasional.

Selain itu, bangsa Yunani Kuno juga mencetuskan sikap “an inquiring attitude” (menyelidki sesuatu secara kritis) dan mereka tidak bersikap “receptve attitude mind” (sikap menerima begitu saja). Lebih dari itu, pada awal perkembangan peradaban Yunani Kuno, mereka membebaskan akal dari segala belenggu yang mengekang pikiran. Dalam mencapai sebuah ilmu pengetahuan, bisa dikatakan mereka menerapkan konsep “jemput bola”, yaitu pendekatan proaktif dengan tidak menunggu sesuatu terjadi atau datang dengan sendirinya. Mereka aktif dalam mencari dan menemukan sesuatu. Hal tersebut selaras dengan adanya dinamika pengamatan empiris serta diskusi dan dialektika konsep pencarian ilmu di masa Yunani Kuno.

Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, keadaan tersebut terasa jauh berbeda. Saat ini, dunia dipenuhi dengan sesuatu yang berbau digital. Semua informasi bisa cepat didapatkan melalui internet atau berbagai macam perangkat teknolongi canggih. Tentu hal ini memudahkan manusia dalam mengakses segala informasi, interaksi, serta inovasi dalam industri. Namun di sisi lain, hal tersebut juga memiliki dampak negatif yang berpotensi menyebabkan degradasi sikap kritis.

Pada dasarnya, ilmu pengatahuan dan teknologi (Iptek) memang bersifat ambivalen. Ia memengaruhi kualitas personal bahkan bisa menjadi sebuah ancaman di era digitalisasi ini. Hal tersebut terbukti dengan adanya  hasil survei Mastel 2017 yang mengatakan bahwa setiap hari, orang dapat menerima dan mengonsumsi berita hoaks lebih dari satu kali. Hal itu terjadi dikarenakan tidak adanya sikap kritis dalam menerima informasi. Ketiadaan sikap kritis akan menyebabkan karakter seseorang lemah ketika berhadapan dengan ilmu pengetahuan ataupun informasi umum yang tepat.

Jika melihat realitas yang terjadi saat ini, mayoritas masyarakat kita sedang terjangkit penyakit tersebut. Sebagaimana yang terjadi ketika kontestasi Pilpres kemarin. Beberapa informasi diterima tanpa melalui proses pengamatan yang benar. Banyak dari mereka lebih memandang sesuatu informasi secara subjektif. Secara tidak sadar, mereka telah tergelincir pada lubang relativisme dan wishful thinking.

Relativisme adalah cara memandang kebenaran sebagai masalah pendapat dan persoalan ukuran penilaian pada konteks personal dan budaya belaka. Pola pikir seperti ini menolak kebenaran secara universal. Para penganutnya pun tidak memiliki standar penilaian apapun mengenai informasi yang diterima. Sedangkan wishful thinking adalah pola pikir dengan menganggap benar sesuatu karena hasrat atau keinginan. Sebagaimana pernyataan Audifax bahwa penganut pola pikir ini wujud dari keinginan pribadi dan menafikan argumen rasional. Dengan kata lain, para penganut pola pikir ini berdasar pada keyakinan sendiri, bukan yang bersifat objektif dan juga bukan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan universal.

Perubahan waktu dan zaman pun memengaruhi beberapa lini yang tidak bisa kita nafikan begitu saja. Perubahan itu jelas memengaruhi berbagai aspek seperti interaksi, berpikir, sosial, dan tentunya budaya. Meskipun demikian, tentu hal tersebut tidak dapat menafikan bahwa perkembangan peradaban yang terjadi di masa kini, baik secara budaya, sosial, karakter maupun ilmu pengetahuan sangat berpengaruh untuk keberlanjutan kehidupan manusia ke depan. Di samping itu, peninggalan dan kelebihan pada zaman dahulu juga tidak bisa abaikan begitu saja, karena apa yang sudah menjadi dan bernilai di masa lalu tentu bisa menjadi referensi pada zaman sekarang.

Semakin berkembangnya zaman, maka tak ayal jika banyak muncul teknologi yang terus bermunculan dengan berbagai jenis dan tipe. Hal itu mengubah suatu era menjadi yang biasa kita sebut era digitalisasi. Perubahan tersebut tentu tidak semerta-merta memberikan pengaruh positif. Perubahan tersebut menjadi suatu tantangan yang harus kita hadapi agar pengaruh perkembangan teknologi dan berubahnya keadaan sosial tidak memberikan efek negatif bagi keberlangsungan kehidupan manusia di kemudian hari.

Peradaban serta perubahan zaman memberikan banyak dampak di segala lini. Bahkan, keadaan tersebut juga dapat mengubah dan memengaruhi pola pikir masyarakat kita. Maka, pembekalan terhadap generasi yang akan datang guna siap menghadapi setiap perubahan menjadi langkah penting, mulai dari segi pola kehidupan hingga pemanfaatan teknologi.

 

Redaktur: Ahmad Rijaldi Nur

Editor: Reza Pahlevi

Posting Komentar

To Top