Membangun Kembali Makna Tasawuf
Mendengar kata tasawuf, tentunya tidak begitu asing di telinga
kita. Menurut Ibnu Taimiyah, istilah ini—dalam islam—muncul pada permulaan abad
ke-2 Hijriyah dan banyak digunakan untuk sifat zuhud (meninggalkan
keduiniawian). Sehingga, bisa tergambarkan bahwa istilah ini digunakan untuk
hal yang berhubungan dengan rohani.
Tasawuf atau dunia sufisme merupakan sebuah dimensi yang fokus
utamanya adalah melatih dan meluruskan hati untuk ikhlas beribadah pada sang
pencipta semesta alam. Tasawuf juga bisa dikatakan sebagai ruh dari ibadah yang
ditunaikan manusia. Namun, dewasa ini, banyak orang menyempitkan makna tasawuf
hanya sebatas simbolis dan praktis. Dalam artian, dimensinya hanya terletak
pada perbuatan yang bisa disaksikan secara gamblang oleh panca indra, seperti
memakai pakaian ala sufi, wiridan, madah (puji-pujian), dan tarian sufi.
Walaupun hal-hal tersebut adalah bagian dari tasawuf, tetapi pada
hakikatnya makna inti dari tasawuf bukanlah demikian. Tasawuf memiliki arti
yang sangat luas dan mendalam, baik dari segi definisi ataupun pengamalan.
Dalam menyikapi problematika ini—yang semakin hari menyebar luas di
masyarakat—perlu untuk mengembalikan dan mengampanyekan tasawuf sesuai dengan
apa yang telah dirumuskan oleh ulama salaf.
Untuk memurnikan arti tasawuf ke asal maknanya, terlebih dahulu
kita harus memahami definisi dari tasawuf beserta syarat untuk bertasawuf.
Sehingga, dengan faham kedua hal ini, kita tidak mudah terpengaruh oleh
kelompok-kelompok yang melabeli diri mereka sebagai ahli tasawuf (sufi), tapi
sejatinya itu hanya bungkus dari tujuan utama mereka untuk kepentingan perut
belaka. Maka dari itu, di sini penulis akan menyajikan pandangan-pandangan
ulama terhadap tasawuf secara ringkas dari apa yang penulis pahami.
Tasawuf
yang sebenarnya
Dalam linguistik bahasa Arab, tawasuf sendiri merupakan bentuk
nomina (masdar) dari Tasawwafa-Yatasawwafu yang memiliki arti menjadi
seorang sufi atau mengikuti rambu-rambu sufi. Sedangkan secara istilah, Syekh
Ahmad Zaruq berpendapat dari sekian banyak istilah ulama, semuanya berkutat
dalam kerangka ketulusan menghadap (beribadah) kepada Allah SWT. atau bisa juga
dikatakan ikhlas dalam akwal, afal, dan suluk. Dari sini ada satu titik yang
mendikasikan bahwa yang menjadi objek dalam dunia tasawuf adalah hati manusia.
Objek dan ruang tasawuf adalah hati, maka dapat diproklamirkan
bahwa dimensi tasawuf tidak sesederhana dan segampang asumsi beberapa orang
yang menyimbolkan dan mempraktikkan tasawuf. Dalam artian, luas dalam cakupan
dan susah dalam pengamalan, karena menata hati tidak segampang menata bata-bata
yang berceceran. Butuh riadat nafsiah yang cukup lama dan konsisten dalam
segala amal yang kita jalankan, sehingga hati yang kita miliki menjadi bersih di
hadapan Sang Ilahi.
Hati merupakan parsial kecil dari manusia. Walaupun bentuknya
kecil, tetapi tugasnya sangatlah besar. Keistimewaan akal yang dikaruniakan
pada manusia, tidak akan sempurna jika tidak dipadukan dengan hati nurani dalam
berinteraksi, baik dengan Tuhan atau makhluknya. Dalam sebuah hadis muttafaq ‘alaih
disebutkan: “Ketahuilah bahwa pada jasad itu terdapat segumpal daging,
jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, jika ia buruk maka buruklah seluruh
jasadnya, ketahuilah bahwa ia adalah hati.” Imam Ibnu Daqiq al-Ied ketika
menjelaskan hadis ini mengatakan bahwa dalam bahasa Arab, hati (al-qalb)
merupakan istilah yang diadopsi dari bentuk nomina (masdar), yang memiliki arti
jungkir-balik. Tentunya hal ini sangat sesuai dengan karakteristik dari hati
itu sendiri, yang setiap saat bisa berubah-ubah dalam menetapkan keputusan.
Syekh Muhammad Salim Abu ‘Ashi menyatakan bahwa hawa nafsu
merupakan musuh utama bagi manusia. Ketika terpedaya olehnya, kita akan
menghalalkan segala cara untuk meloloskan apa yang kita inginkan, meskipun hal
itu bersebrangan dengan aturan agama. Penyebab utamanya adalah hati yang
condong terhadap perkara-perkara duniawi. Ungkapan beliau sangat perlu kita
perhatikan, mengingat hati adalah satu-satunya self control utama dan
menempati garda terdepan dalam memagari jalan kita untuk senantiasa berada pada
garis lurus.
Dari
pandangan di atas, kita bisa memosisikan hati sebagai setir bagi sesorang yang
bertasawuf, karena mustahil seorang bisa mendekatkan diri pada Allah Swt. jika
hatinya masih diselimuti dengan beragam penyakit. Butuh hati yang bersih untuk
mengantarkan manusia pada derajat al-Ihsan. Dan perlu dipahami bahwa
bukanlah pakaian yang menunjukkan kesufian seseorang, melainkan hatinya.
Syarat Bertasawuf
Sejatinya, semua orang bisa bertasawuf. Ini mungkin terjadi karena
karakteristik tasawuf itu sendiri mengandung pesan bahwa tasawuf itu bukan
hanya sebuah materi yang termaktub di manuskrip ulama. Akan tetapi, tasawuf
adalah interaksi hati dengan ibadah amaliah. Walaupun demikian, bukan berarti
tidak ada aturan yang komprehensif dalam menjembatani kita untuk sampai pada
tasawuf yang sesuai dengan salaf saleh.
Tasawuf yang benar adalah tasawuf yang dibangun atas pondasi ilmu
syariat yang mumpuni. Mengingat kunci dari segala sesuatu adalah menguasai
ilmunya telebih dahalu. Logika sederhananya begini, jika kita ingin bisa
menghitung, minimal kita harus mengetahui ilmu dasar matematika. Begitupun
dengan tasawuf, karena dimensinya adalah ibadah lahir dan batin, maka hal
pertama yang harus dipelajari adalah ilmu syariat, dalam hal ini meliputi ilmu
fikih, ilmu tasawuf dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keduanya.
Syekh Ahmad Zaruq dalam kitabnya mewanti-wanti agar bertasawuf itu
harus dibangun dengah pondasi fikih, karena tidak mungkin kita mengetahui hukum
Tuhan kecuali dengan mempelajari fikih dan berfikih harus diiringi dengan
tasawuf sebagai kontrol diri agar tidak menyalahgunakan ilmu yang dia kuasai.
Imam Malik juga mengatakan, “Barangsiapa yang belajar tasawuf, tapi belum
belajar fikih, maka akan berpotensi menjadi orang zindik. Barangsiapa yang
belajar fikih, tetapi belum belajar tasawuf, maka akan berpotensi menjadi
fasik”. Dari kedua konsep yang sama ini, kita bisa menarik pemahaman bahwa
tasawuf dan fikih (ilmu syariat) memiliki hubungan dengan pola simbiosis
mutualisme yang tidak bisa dipisahkan dan sifatnya saling melengkapi.
Dikisahkan bahwa setan pernah menggoda Syekh Abdul Qadir al-Jailani
dengan mendatanginya melalui wujud cahaya dan mengaku sebagai Tuhan, lalu
menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah Swt. Namun, karena kedalaman
ilmu syariat Syekh Abdul Qadir dan hubungannya yang erat dengan Tuhan, beliau mencela
setan tersebut dan tidak terpengaruh dengan godaannya. Beliau dapat membedakan
perkara yang hak dan yang batil, dikarenakan pondasi ilmu yang kuat.
Dari beberapa hal yang telah disampaikan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa tasawuf bukan hanya ibadah yang bersifat praktis dan simbolis.
Lebih dari itu, tasawuf memiliki arti yang sangat luas dan dalam, karena memiliki
peran dalam mengatur dan memperbaiki hati manusia dalam beribadah kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Penulis: Abduhisme
Editor: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid
Posting Komentar