Mengurai Benang Kusut Golongan Sabilillah Sebagai Penerima Zakat

 

 Sumber gambar: https://pin.it/2rPgryzk0

Zakat merupakan salah satu ibadah yang agung. Ia tidak hanya ibadah yang memiliki hubungan keterikatan antara manusia dengan penciptanya saja, melainkan juga berkaitan dengan sesama manusia. Hukum menunaikan zakat itu wajib bagi umat muslim sebagaimana perintah yang dinaskan secara eksplisit di dalam al-Qur’an: "Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat". Tentu, di balik kewajiban zakat terdapat hikmah yang besar. Bagi muzaki, ia merupakan proses menyucikan harta serta menjauhkan diri dari sikap kikir dan tamak. Selain itu, adanya zakat diharapkan mampu mengangkat derajat dan taraf kehidupan yang lebih baik bagi penerimanya. Oleh karena itu, sebagai salah satu ciri sistem ekonomi Islam, zakat menjadi implementasi dari prinsip keadilan dan kesetaraan di antara kaum muslim.

Ketika berbincang tentang zakat, maka lingkup pembahasannya tidak akan terlepas dari mustahik. Ia tidak hanya ditujukan terhadap kaum duafa saja, melainkan terdapat beberapa golongan lain yang berhak menerimanya. Mereka ialah para mualaf, orang yang terlilit hutang, hamba sahaya, musafir yang kehabisan bekal dan fi sabilillah seperti yang termaktub dalam surat al-Taubah ayat 60. Di antara golongan penerima zakat di atas, golongan sabilillah menjadi salah satu penerima zakat yang masih rancu dan memerlukan penjelasan lebih rinci.  

Pada zaman Rasulullah, golongan sabilillah ialah para sahabat yang berperang membela agama Islam untuk memerangi kaum musyrik dengan sukarela. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Syekh Mustafa Ibnu Ahmad di dalam kitabnya Mu’nis al-Jalîs. Seringkali, hasil perolehan zakat yang diterima oleh para sahabat digunakan untuk memenuhi pasokan senjata perang. Kondisi ini jelas berbeda apabila kita bandingkan dengan era sekarang, utamanya di negara kita tercinta Indonesia. Masyarakat hidup damai, tentram dan jauh dari konflik peperangan. Maka perlu memahami dan menelaah lebih jauh tentang eksistensi maupun relevansi golongan sabilillah sebagai penerima zakat di zaman sekarang. Tentu dirasa penting untuk mengetahuinya secara jelas, agar distribusi zakat tepat sasaran sesuai tuntunan al-Qur’an.

Dalam permasalahan ini, Ibnu Atsir (606H), seorang ulama yang ahli dalam bahasa dan hadis bergelar Majduddin, di dalam kitabnya Al-Nihâyah fi Gorîb al- Hadîs wa al-Atsar memaparkan bahwa sabilillah itu adalah kata yang umum, berlaku terhadap semua amal salih yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, baik berupa amalan fardu, sunah atau amalan yang lainnya. Namun, penyebutan kata sabilillah masyhur dipahami sebagai jihad di jalan Allah.

Dari pemaparan ini dapat kita perjelas bahwa sabilillah memiliki dua pengertian. Pertama, makna dengan cakupan yang lebih luas meliputi segala amal makruf yang mengarah pada pendekatkan diri kepada sang ilahi, baik dilakukan mandiri maupun secara berjamaah. Kedua, makna dengan lingkup yang lebih spesifik berupa berperang dengan fisik untuk menegakkan agama Allah melawan kemusyrikan. Dengan adanya dua makna ini, ulama terdahulu pun berselisih pendapat tentang klasifikasi orang-orang yang termasuk sebagai golongan sabilillah, sehingga berhak menerima bagian dari zakat seperti yang dimaksudkan surat al-Taubah ayat 60 di atas.

Di antarannya, terdapat ulama yang tetap berpegangan dengan makna sabilillah secara luas, seperti pendapat sebagian Hanafiyah yaitu al-Kasani di dalam kitab al-Badâi al-Shonâ’i. Akan tetapi, dengan tambahan syarat berupa sang penerima adalah orang fakir dan membutuhkan bantuan. Perlu diketahui juga bahwa syarat tambahan ini merupakan kesepakatan di dalam golongan Hanafiyah yang menyatukan perbedaan pendapat di golongan mereka. Lain halnya dengan golongan Syafi’iyah seperti pendapat an-Nawawi di dalam al-Minhâj dan golongan Hanabilah, mereka cenderung berpegang teguh terhadap makna yang menyempit. Sehingga, mereka mempertahankan klasifikasi golongan sabilillah seperti di zaman Rasulullah.

Jika kita bandingkan antara kedua pendapat tadi, masing-masing memiliki alasan yang bisa dipertanggungjawabkan dan dapat dibenarkan. Namun, terdapat beberapa indikasi dan pertimbangan untuk lebih memilih pendapat yang paling mendekati kebenaran di antara keduanya. Salah satunya dengan tetap mempertahankan makna sabilillah secara ketat (sempit). Hal ini didorong dengan beberapa alasan ilmiah. Di antaranya, menurut al-Thabari terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Nabi bersabda,”Sedekah (zakat) itu tidak halal bagi orang kaya, kecuali golongan sabilillah, Ibnu sabil, atau tetangga yang fakir. Dan jika diberi, ia akan memberikan hadiah atau memanggil kaumnya kepadamu” (H.R. Abu Daud). Dari hadis ini, al-Thabari berpendapat bahwa keumuman sabilillah telah dikhususkan, sehingga ia menyempitkan maknanya terhadap tentara yang berperang di jalan Allah.

Alasan kedua, makna sabilillah dalam istilah ulama fikih dengan bentuknya yang sempit lebih mendekati kebenaran. Sebab, zakat merupakan pembahasan fikih, bukan ranah bahasa. Terlebih lagi, makna sabilillah yang terdapat pada surat al-Taubah ayat 60 di atas, jika diperluas dengan makna secara bahasa, niscaya Allah tidak akan menyebutkan mustahik zakat secara terperinci sebanyak delapan golongan dan cukup dengan menyebutkan sabilillah. Hal ini tidak lain karena sabililah dengan makna yang meluas telah mencakup golongan-golongan yang lainnya. Dengan alasan-alasan ini, maka dapat dipahami, bahwa penggunaan makna sabilillah secara ketat (sempit) dirasa lebih ideal dan mendekati kebenaran.

Namun, dengan berkembangnya zaman, ulama modern seperti Yusuf al-Qardawi berpendapat bahwa jihad yang dimaksud di sini perlu disesuaikan dengan keadaan di zaman sekarang. Gagasan ini bisa dianggap sebagai jalan tengah untuk merangkul kedua pendapat yang telah dipaparkan di atas. Sebagaimana keadaan yang ada di Indonesia, kehidupan yang damai mendorong jihad tidak melulu tentang kontak fisik dan pertempuran dengan senjata saja, tetapi bisa diarahkan terhadap hal lain yang esensinya tidak jauh berbeda berupa upaya membela dan menegakkan agama Allah. Sebagai contoh, sebagian kalangan masyarakat menggolongkan guru TPQ yang mengajar secara sukarela sebagai sabilillah. Secara tidak langsung, mereka lah yang menegakkan agama Allah dengan menanamkan nilai-nilai Islam terhadap generasi muslim sejak dini.

Selain itu, jihad bisa juga diarahkan kepada para pelajar yang menuntut ilmu dan dikader menjadi ulama intelektual Islam. Sebab, di zaman sekarang, perang pemikiran dan ideologi sangat dominan,  ditandai dengan munculnya orientalis barat yang berusaha melemahkan Islam. Maka peran mereka dalam mempertahankan pondasi agama Islam sangat diperlukan dan dapat dikategorikan sebagai jihad di dalam Islam. Dengan begitu, mereka termasuk golongan sabilillah yang berhak mendapatkan zakat berdasarkan pendapat Yusuf al-Qardawai

Kesimpulannya, makna sabilillah dalam surat al-Taubah ayat 60 dapat diinterpretasikan sebagai orang-orang yang  berjihad di jalan Allah sesuai dengan makna yang lebih spesifik. Namun, makna jihad ini tidak hanya seputar kontak fisik dan mengangkat senjata saja. Akan tetapi, makna tersebut lebih diperluas mengikuti perkembangan zaman sebagaimana contoh yang telah dipaparkan di atas. Oleh sebab itu, keberadaan sabilillah masih bisa dikatakan eksis hingga saat kini.                 


Penulis: Abdulloh Gymnastiar

Editor: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid

Posting Komentar

To Top