Mengurai Benang Kusut Golongan Sabilillah Sebagai Penerima Zakat
Zakat merupakan
salah satu ibadah yang agung. Ia tidak hanya ibadah yang memiliki hubungan keterikatan
antara manusia dengan penciptanya saja, melainkan juga berkaitan dengan sesama
manusia. Hukum menunaikan zakat itu wajib bagi umat muslim sebagaimana perintah
yang dinaskan secara eksplisit di dalam al-Qur’an: "Dirikanlah
salat dan tunaikanlah zakat". Tentu, di balik kewajiban zakat
terdapat hikmah yang besar. Bagi muzaki, ia merupakan proses menyucikan harta
serta menjauhkan diri dari sikap kikir dan tamak. Selain itu, adanya zakat diharapkan
mampu mengangkat derajat dan taraf kehidupan yang lebih baik bagi penerimanya.
Oleh karena itu, sebagai salah satu ciri sistem ekonomi Islam, zakat menjadi
implementasi dari prinsip keadilan dan kesetaraan di antara kaum muslim.
Ketika berbincang
tentang zakat, maka lingkup pembahasannya tidak akan terlepas dari mustahik. Ia
tidak hanya ditujukan terhadap kaum duafa saja, melainkan terdapat beberapa
golongan lain yang berhak menerimanya. Mereka ialah para mualaf, orang yang
terlilit hutang, hamba sahaya, musafir yang kehabisan bekal dan fi sabilillah
seperti yang termaktub dalam surat al-Taubah ayat 60. Di antara golongan
penerima zakat di atas, golongan sabilillah menjadi salah satu penerima zakat
yang masih rancu dan memerlukan penjelasan lebih rinci.
Pada zaman Rasulullah,
golongan sabilillah ialah para sahabat yang berperang membela agama Islam untuk
memerangi kaum musyrik dengan sukarela. Hal ini selaras dengan yang disampaikan
oleh Syekh Mustafa Ibnu Ahmad di dalam kitabnya Mu’nis al-Jalîs. Seringkali,
hasil perolehan zakat yang diterima oleh para sahabat digunakan untuk memenuhi
pasokan senjata perang. Kondisi ini jelas berbeda apabila kita bandingkan
dengan era sekarang, utamanya di negara kita tercinta Indonesia. Masyarakat
hidup damai, tentram dan jauh dari konflik peperangan. Maka perlu memahami dan
menelaah lebih jauh tentang eksistensi maupun relevansi golongan sabilillah
sebagai penerima zakat di zaman sekarang. Tentu dirasa penting untuk
mengetahuinya secara jelas, agar distribusi zakat tepat sasaran sesuai tuntunan
al-Qur’an.
Dalam
permasalahan ini, Ibnu Atsir (606H), seorang ulama yang ahli dalam bahasa dan
hadis bergelar Majduddin, di dalam kitabnya Al-Nihâyah fi Gorîb al- Hadîs wa
al-Atsar memaparkan bahwa sabilillah itu adalah kata yang umum, berlaku terhadap
semua amal salih yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, baik berupa
amalan fardu, sunah atau amalan yang lainnya. Namun, penyebutan kata sabilillah
masyhur dipahami sebagai jihad di jalan Allah.
Dari pemaparan
ini dapat kita perjelas bahwa sabilillah memiliki dua pengertian. Pertama,
makna dengan cakupan yang lebih luas meliputi segala amal makruf yang mengarah
pada pendekatkan diri kepada sang ilahi, baik dilakukan mandiri maupun secara
berjamaah. Kedua, makna dengan lingkup yang lebih spesifik berupa
berperang dengan fisik untuk menegakkan agama Allah melawan kemusyrikan. Dengan
adanya dua makna ini, ulama terdahulu pun berselisih pendapat tentang
klasifikasi orang-orang yang termasuk sebagai golongan sabilillah, sehingga berhak
menerima bagian dari zakat seperti yang dimaksudkan surat al-Taubah ayat 60 di atas.
Di antarannya, terdapat
ulama yang tetap berpegangan dengan makna sabilillah secara luas, seperti
pendapat sebagian Hanafiyah yaitu al-Kasani di dalam kitab al-Badâi al-Shonâ’i.
Akan tetapi, dengan tambahan syarat berupa sang penerima adalah orang fakir dan
membutuhkan bantuan. Perlu diketahui juga bahwa syarat tambahan ini merupakan kesepakatan
di dalam golongan Hanafiyah yang menyatukan perbedaan pendapat di golongan
mereka. Lain halnya dengan golongan Syafi’iyah seperti pendapat an-Nawawi di
dalam al-Minhâj dan golongan Hanabilah, mereka cenderung berpegang teguh
terhadap makna yang menyempit. Sehingga, mereka mempertahankan klasifikasi golongan
sabilillah seperti di zaman Rasulullah.
Jika kita bandingkan
antara kedua pendapat tadi, masing-masing memiliki alasan yang bisa dipertanggungjawabkan
dan dapat dibenarkan. Namun, terdapat beberapa indikasi dan pertimbangan untuk
lebih memilih pendapat yang paling mendekati kebenaran di antara keduanya. Salah
satunya dengan tetap mempertahankan makna sabilillah secara ketat (sempit). Hal
ini didorong dengan beberapa alasan ilmiah. Di antaranya, menurut al-Thabari terdapat
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Nabi bersabda,”Sedekah (zakat) itu
tidak halal bagi orang kaya, kecuali golongan sabilillah, Ibnu sabil, atau
tetangga yang fakir. Dan jika diberi, ia akan memberikan hadiah atau memanggil kaumnya
kepadamu” (H.R. Abu Daud). Dari hadis ini, al-Thabari berpendapat bahwa keumuman
sabilillah telah dikhususkan, sehingga ia menyempitkan maknanya terhadap
tentara yang berperang di jalan Allah.
Alasan kedua,
makna sabilillah dalam istilah ulama fikih dengan bentuknya yang sempit lebih
mendekati kebenaran. Sebab, zakat merupakan pembahasan fikih, bukan ranah
bahasa. Terlebih lagi, makna sabilillah yang terdapat pada surat al-Taubah ayat
60 di atas, jika diperluas dengan makna secara bahasa, niscaya Allah tidak akan
menyebutkan mustahik zakat secara terperinci sebanyak delapan golongan dan
cukup dengan menyebutkan sabilillah. Hal ini tidak lain karena sabililah dengan
makna yang meluas telah mencakup golongan-golongan yang lainnya. Dengan
alasan-alasan ini, maka dapat dipahami, bahwa penggunaan makna sabilillah
secara ketat (sempit) dirasa lebih ideal dan mendekati kebenaran.
Namun, dengan
berkembangnya zaman, ulama modern seperti Yusuf al-Qardawi berpendapat bahwa jihad
yang dimaksud di sini perlu disesuaikan dengan keadaan di zaman sekarang. Gagasan
ini bisa dianggap sebagai jalan tengah untuk merangkul kedua pendapat yang telah
dipaparkan di atas. Sebagaimana keadaan yang ada di Indonesia, kehidupan yang
damai mendorong jihad tidak melulu tentang kontak fisik dan pertempuran dengan
senjata saja, tetapi bisa diarahkan terhadap hal lain yang esensinya tidak jauh
berbeda berupa upaya membela dan menegakkan agama Allah. Sebagai contoh,
sebagian kalangan masyarakat menggolongkan guru TPQ yang mengajar secara sukarela
sebagai sabilillah. Secara tidak langsung, mereka lah yang menegakkan agama
Allah dengan menanamkan nilai-nilai Islam terhadap generasi muslim sejak dini.
Selain itu, jihad
bisa juga diarahkan kepada para pelajar yang menuntut ilmu dan dikader menjadi ulama
intelektual Islam. Sebab, di zaman sekarang, perang pemikiran dan ideologi
sangat dominan, ditandai dengan munculnya
orientalis barat yang berusaha melemahkan Islam. Maka peran mereka dalam
mempertahankan pondasi agama Islam sangat diperlukan dan dapat dikategorikan
sebagai jihad di dalam Islam. Dengan begitu, mereka termasuk golongan
sabilillah yang berhak mendapatkan zakat berdasarkan pendapat Yusuf al-Qardawai
Kesimpulannya, makna
sabilillah dalam surat al-Taubah ayat 60 dapat diinterpretasikan sebagai orang-orang
yang berjihad di jalan Allah sesuai
dengan makna yang lebih spesifik. Namun, makna jihad ini tidak hanya seputar kontak
fisik dan mengangkat senjata saja. Akan tetapi, makna tersebut lebih diperluas mengikuti
perkembangan zaman sebagaimana contoh yang telah dipaparkan di atas. Oleh sebab
itu, keberadaan sabilillah masih bisa dikatakan eksis hingga saat kini.
Penulis: Abdulloh Gymnastiar
Editor: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid
Posting Komentar