Menyoal Keadilan Poligami

 

Sumber gambar: klikdokter.com

Ketika membincang poligami, tentu tidak akan dapat dilepaskan dari pro dan kontranya. Beberapa orang beranggapan bahwa poligami merupakan suatu perbuatan yang dianjurkan oleh al-Quran. Bahkan, ada yang mengangap hal ini merupakan sunnah Nabi, karena juga dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Dari sini muncul permasalahan di tengah-tengah masyarakat, salah satunya adalah terpengaruhnya generasi Islam ataupun orientalis dengan anggapan bahwa Islam tidak adil dalam perihal hal tersebut, karena hanya memperbolehkan poligami bagi laki-laki saja.

Sebelum membahas lebih jauh, perlu kita tinjau pembahasan ini dari segi sejarah. Poligami bukanlah sebuah kebiasaan yang dibawa oleh ajaran Nabi Muhammad Saw. Kebiasaan ini sudah dilakukan oleh masyarakat Mesopotamia (bangsa Sumeria/3500-2300 SM), Babilonia (1696-1654 SM), Byzantium (Yunani kuno-Romawi Timur), Kristen Ortodoks Syria, Mesir kuno, masyarakat di Kawasan Mediterania dan Persia (525-331 SM) dan lain sebagainya. Bahkan, pada saat itu, kebiasaan punya istri banyak (seakan) merupakan simbol keperkasaan sekaligus kemakmuran, sehingga menjadi kebanggaan bagi para suami.

Hal ini juga masih berlangsung pada zaman Jahiliyah atau masa tepat sebelum Islam tiba. Kala itu, belum terdapat batasan atau aturan bagi mereka (laki-laki) yang ingin menikahi banyak perempuan. Selain itu, perempuan juga cenderung mendapatkan perlakuan yang tidak adil terkait dengan haknya, terkhusus hak secara materi. Kemudian, Islam hadir memberikan batasan jumlah perempuan yang bisa dinikahi oleh laki-laki melalui surat an-Nisa ayat 3. Ayat ini membahas tentang kebolehan seorang laki-laki menikahi empat perempuan saja, asalkan terpenuhi syaratnya: berlaku adil terhadap hak-hak perempuan. Adanya batasan ini dikuatkan oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Qays bin Harits yang berkata: “Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai lima orang istri, kemudian aku menjumpai Nabi dan menceritakannya. Nabi bersabda: Pilihlah empat dari mereka.”

Para ulama juga sepakat bahwa hukum poligami bukanlah sebuah anjuran dan juga bukan larangan, melainkan kebolehan. Bahkan Syekh Wahbah Az-Zuhayli berpendapat bahwa Islam justru menganjurkan monogami, sedangkan poligami merupakan pengeculian. Beliau berkata dalam kitabnya: “Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syarak. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Adapun sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara”. Model poligami tidak bisa dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak. Oleh karena itu, syariat Islam tidak mewajibkan dan menganjurkan siapapun untuk melakukan poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus,” (Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh).

Dari sisi lain, an-Nisa ayat 3 memang seakan-akan menganjurkan untuk poligami karena bentuk kalimat “fankihû” yang berupa perintah. Akan tetapi, lanjutan dari penggalan ayat tersebut menekankan sesuatu yang harus diperhatikan bagi orang yang hendak melakukan poligami yaitu keadilan. At-Thabari menyatakan dalam tafsirnya bahwa ayat ini justru bermakna larangan bagi mereka yang hendak berpoligami, tapi tidak mampu untuk menjamin keadilan bagi istri-istrinya.

Islam tidak semerta-merta membolehkan poligami dengan batasan empat perempuan saja, tapi juga memberikan aturan dan syarat bagi mereka yang hendak berpoligami. Dalam poligami, Islam menekankan setidaknya dua syarat. Pertama, mampu memperlakukan seluruh istrinya secara adil. Berlaku adil yang dimaksud di sini adalah dari segi materi. Hal ini berkaitan dengan syarat yang kedua, yaitu mampu untuk memberikan nafkah lahir dan batin. Syarat ini sama dengan kewajiban yang berlaku terhadap monogami. Namun, tidak dapat dimungkiri tanggungan pelaku poligami pasti lebih berat, karena semakin banyak istrinya, tentu semakin banyak hak-hak yang harus dipenuhi oleh seorang suami. Maka, barang siapa yang tidak mampu berlaku adil ketika hendak berpoligami, maka ia diharuskan untuk menikahi satu perempuan saja.

Keadaan tersebut tentu berkaitan dengan turunnya ayat tersebut. Pada zaman Rasulullah terdapat seorang laki-laki yang menjadi wali dari perempuan yatim yang tidak mempunyai apa-apa kecuali harta. Dan Laki-laki tersebut ingin menikahinya karena berdasarkan harta semata, sehingga laki-laki tersebut cenderung berbuat zalim pada perempuan itu. Kemudian, turunlah surah an-Nisa ayat 3 yang membatasi dan menekankan keadilan di dalamnya. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar Islam yang sangat menekankan keadilan, sehingga ungkapan yang mengatakan poligami dalam Islam tidak merepresentasikan keadilan terkait hak antara laki-laki dan perempuan tak dapat diterima.

Adanya aturan poligami dalam Islam merupakan salah satu representasi keadilan dan relevansi aturan Islam di setiap masanya. Poligami yang pada mulanya tidak mempunyai batasan, kemudian diatur sedemikian rupa oleh Islam untuk menjadi pedoman dan kemaslahatan dalam melindungi hak setiap manusia. Dengan adanya aturan tersebut, Islam mengurangi resiko perbuatan zalim terhadap hak-hak perempuan. Karena semakin banyaknya istri yang dimiliki oleh seorang laki-laki, semakin banyak pula tanggung jawab hak-hak mereka yang harus ditunaikan.

Hal tersebut juga menjadi salah satu hikmah pembatasan Islam terhadap pelaku poligami untuk menikahi maksimal empat perempuan saja. Pembatasan tersebut merupakan representatis dari nilai Islam yang menjunjung tinggi keadilan. Hal ini juga dapat dikuatkan oleh studi yang menunjukkan bahwa hanya terdapat 5% dari penduduk muslim yang mampu melakukan poligami di kebanyakan negara Islam. Hal ini tentu dikarenakan syarat yang ditawarkan Islam untuk melakukan poligami sangat berat. Melalui hal ini, secara perlahan hak-hak perempuan mulai terpenuhi.


Penulis: Muhammad Said As’ad

Editor: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid


Posting Komentar

To Top