Laut Bercerita; Dokumentasi Sejarah Kelam Tahun 1998
Sejarah Orde Baru adalah sejarah
paling kelam dalam perjalanan politik Indonesia. Melalui buku-buku sejarah,
kita mengenal sosok Soeharto yang pernah menjadi presiden Indonesia selama
puluhan tahun lamanya. “Kehampirabadian” masa Soeharto mengundang banyak kritik
pada masa itu. Tapi seperti yang sama-sama kita tahu, kritik-kritik tersebut
tidak pernah eksis dengan leluasa, sebab pembungkaman yang kemudian melahirkan
banyak korban.
Ironinya, sejarah hampir-hampir
tidak menyinggung soal pembungkaman. Sejarah hanya mampu menceritakan lahirnya
kerusuhan yang menjadi akhir daripada pemerintahan Soeharto. Sederet nama pun
muncul setelahnya. Mereka disebut-sebut sebagai korban yang hilang
keberadaannya, akibat begitu berani melontar kritik pada ‘kerajaan’. Akan
tetapi, sejarah lagi-lagi tidak menyinggungnya. Sejarah hanya mampu mengenang
nama-nama yang hilang, lalu menyematkannya sebagai pahlawan reformasi.
Sedikit mengharukan, tapi juga
cukup basi. Beruntungnya, para sastrawan terdahulu bermurah hati membagikan
momen tersebut. Leila Salikha Cludori adalah salah satu yang termasuk di
dalamnya. Melalui novel berjudul “Laut Bercerita”, Leila membagi sejuta cerita
yang dialami mahasiswa pada masa itu, saat berdarah-darah dalam memperjuangkan
keadilan. Bahwa saat sebelum Kerusuhan Mei pecah, ada beberapa mahasiswa yang
diculik dan hilang, sebab dianggap musuh bagi pemeritahan.
Satu
hal paling menarik dari buku sejumlah 379 halaman ini adalah klimaks yang ditempatkan
dalam prolog. Tidak seperti novelis kebanyakan yang hanya menggunakan klimaks
sebagai pemicu rasa penasaran, Leila benar-benar memfungsikan klimaks miliknya sebagai
pembuka cerita. Melalui tokoh utama ciptannya, Leila mengajak pembaca menyelam
ke dasar laut untuk mendengar sebuah kisah dari Biru Laut. Sosok mahasiswa dengan
semangat juang yang tidak pernah padam, harus berakhir di dasar laut
terdalam—tanpa siapapun mengetahui kabarnya.
Dinamika
kehidupan Laut pun digambarkan begitu apik oleh wanita kelahiran 1967 tersebut.
Saat pembaca masih tertegun dan bertanya-tanya terkait buntut dari
ketertenggelaman itu, Leila menjawabnya dengan membawa pembaca kembali pada
saat Laut memulai ‘gerakannya’. Pada masa permulaan itu, Laut yang memang
sedari kecil memiliki kesadaran atas kondisi bangsanya yang sedang tidak
baik-baik saja, bertemu dengan sosok-sosok yang memiliki kesadaran serupa
dengannya. Sebut saja Organisasi Winatra, beserta para aktivisnya: Bram, Kinan,
Sunu, Daniel, Alex, Anjani, Julius, dan lain sebagainya.
Meskipun
barangkali Winatra hanyalah imaji dalam alam pikir penulis, namun semangat di
dalamnya nyata adanya. Leila tampak seolah ingin membagi semangat itu melalui
sosok Laut dan pergerakan Winatra. Karakter kesemuanya pun digambarkan dengan
begitu hidup dan gagah. Diskusi-diskusi yang tetap aktif dan berjalan. Pergerakan-pergerakan
yang terus digalakkan. Mahasiswa pada masa itu seolah tidak mengenal takut untuk
terus menyuarakan keadilan, meski tahu aparat ada dimana-mana.
Salah
satu bukti keberanian itu adalah saat Laut, untuk pertama kalinya, mendapat
tekanan dari Aparat. Laut bersama beberapa temannya diseret ke sebuah ruang
antah berantah, demi sebuah jawaban perihal tujuan Aksi Blangguan yang bahkan
saat itu batal diadakan, karena polisi telah berjaga di wilayah tersebut. Mereka
bahkan mendapat beberapa siksaan—seperti diinjak, dipukul, ditampar, dan
disetrum—hanya karena tidak memberikan jawaban yang memuaskan.
Pada
bagian ini, Leila mengajak bagi setiap pembaca cerita Laut untuk turut
merasakan siksaan yang hampir-hampir tidak manusiawi. Terlebih, para
aparat—dalam cerita Leila—tampak sebagai sosok yang justru menikmati siksaan
itu. Melalui untaian katanya, Leila seolah ingin membakar rasa marah pembaca
dalam merasakan sederet siksaan tidak berdasar itu. Bersamaan dengan hal itu
pula, Leila menenangkan pembaca dengan semangat dan keyakinan para aktivis
Winatra yang sama sekali tidak terguncang, dan akan terus melanjutkan
perlawanan.
Menariknya
lagi, Leila bahkan tidak menggambarkan semangat berapi-api itu dengan cara klise.
Alih-alih menarasikan sosok aktivis yang gemar membagikan orasi membara,
pembaca justru seolah diajak masuk dalam lingkar para aktivis Winatra. Pembaca
adalah Winatra itu sendiri. Pembaca adalah mahasiswa yang sadar akan perubahan.
Pembaca adalah mahasiswa yang gemar berdiskusi dan mengadu bahan bacaan.
Pembaca adalah mahasiswa yang tidak takut bersuara dan terus melawan. Pembaca
adalah mereka yang tidak gentar terhadap serangkaian siksaan.
Pada
bagian penting dalam buku ini, Leila benar-benar ingin memastikan semangat dan
ambisi perubahan itu sampai pada perasaan pembaca. Pun halnya dengan bagian
penting kedua dalam buku ini. Leila ingin membagi sisa-sisa keputusasaan yang
tertinggal dalam ‘sel kecil itu’ kepada para pembaca.
Setelah
siksaan pertama dalam aksi Blangguan, Laut beserta kedua temannya pun menjadi
buron pada beberapa bulan kemudian. Mereka sempat mengungsi ke Sumatera dan berpindah-pindah
tempat. Sampai pada persembunyiannya yang ke sekian, Laut kembali tertangkap.
Kedua temannya menyusul beberapa hari kemudian. Kali ini masa penangkapan
mereka begitu lama. Siksaan yang didapat pun begitu menguras akal sehat dan
tenaga. Mereka diikat, dipukul, disetrum, digantung, disiksa menggunakan semut
merah, serta disuruh berendam dalam balok es selama beberapa jam.
Meskipun
semua siksaan itu membuat Laut semakin tidak berupa, namun ada satu hal yang
begitu membuatnya putus asa. Dalam salah satu siksaan itu, Laut melihat Gusti,
teman satu perjuangannya, menyapa dan tersenyum padanya bersama para penyiksa
yang lain. Akan tetapi, Laut tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menjawab
sapaan itu dengan ludahan, kembali ke sel kecil nan sempit untuk kemudian memberi
tahu ‘kejutan besar’ itu kepada teman-temannya, lalu meratapi kenaifannya.
Pada
bagian inilah, Leila terasa begitu jujur dalam membagi keputusasaan Laut.
Menariknya, keputusasaan itu muncul karena sebuah pengkhianatan, dan bukan
karena sederet siksaan. Hal ini jelas membuktikan betapa Laut tidak akan hancur
dalam tekanan. Sebaliknya, Laut justru jatuh dalam jurang penyesalan yang
dibuatnya sendiri. Ia merutuki dirinya sendiri yang begitu naif, saat mengira
semua temannya memiliki cita yang sama dengan dirinya—tanpa terkecuali.
Semua
perasaan itu seolah membuatnya mati rasa. Sesaat setelah memberikan kesaksian
pada teman-temannya, ke-mati rasa-an itu seolah menguar ke seluru penjuru sel.
Mereka bergantian mulai mengenang orang terkasih dengan perasaan hampa. Tidak
ada tangisan. Tidak ada ratapan. Mereka menceritakan berbagai kenangan dan
harapan seperti hari biasa, saat mereka sedang tidak berada dalam sebuah sel.
Bahkan, Laut yang sedari awal percaya akan keberhasilan dari ujung pergerakan
mereka pun, telah sampai pada tahap perkiraan bahwa ia tidak akan kembali. Dan
benarlah, hal itu terjadi.
Leila
pun menutup ceritanya dengan luar biasa. Untuk menceritakan kepergian sang
tokoh utama, Leila mengganti POV Laut menjadi POV Asmara, adik Laut. Meski ia
sendiri telah kehilangan kakaknya, namun ia menjadi tempat ‘menitipkan harapan’
bagi keluarga lain yang juga telah ditinggalkan. Termasuk orang tuanya sendiri.
Asmara terpaksa menjadi sosok yang kuat, di saat orang tuanya begitu rapuh
kehilangan anak pertama mereka. Bahkan bagi Alex (teman Laut yang kembali
sekaligus kekasihnya) dan Anjani (kekasih Laut), Asmara adalah sosok penenang
bagi mereka.
Meskipun
sama-sama cerdas dan hobi membaca, Asmara dan Laut hampir jauh berbeda. Mereka
memiliki karakter berbeda, serta pilihan jalan hidup yang berbeda. Akan tetapi,
pasca penghilangan, Leila seolah ingin menghadirkan Laut pada diri Asmara.
Barangkali itulah sebabnya, Asmara menjadi obat penawar bagi siapapun yang telah
merasa kehilangan. Beruntungnya, seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai
sadar bahwa Asmara adalah Asmara. Sehingga pada Aksi Kamisan di depan istana
negara, Asmara beserta semua keluarga yang ditinggalkan, kompak menuntut
penjelasan atas berbagai nama yang dihilangkan.
Leila
Salikha Cludori, sekali lagi, menutup ceritanya dengan begitu ciamik. Ia
menitipkan rasa kehilangan dari para keluarga yang ditinggalkan, untuk terus
menjadi pengingat bagi para pembaca. Lebih daripada itu, Leila melalui karyanya
berjudul “Laut Bercerita”, berhasil mendokumentasikan sejarah kelam yang
hampir-hampir dilupakan orang. Selamat mengenang bersama Leila!
Penulis: Salsadilla Musrianti H.
Posting Komentar