Laut Bercerita; Dokumentasi Sejarah Kelam Tahun 1998

 

sumber gambar: https://pin.it/14UM18hDp

Sejarah Orde Baru adalah sejarah paling kelam dalam perjalanan politik Indonesia. Melalui buku-buku sejarah, kita mengenal sosok Soeharto yang pernah menjadi presiden Indonesia selama puluhan tahun lamanya. “Kehampirabadian” masa Soeharto mengundang banyak kritik pada masa itu. Tapi seperti yang sama-sama kita tahu, kritik-kritik tersebut tidak pernah eksis dengan leluasa, sebab pembungkaman yang kemudian melahirkan banyak korban.

Ironinya, sejarah hampir-hampir tidak menyinggung soal pembungkaman. Sejarah hanya mampu menceritakan lahirnya kerusuhan yang menjadi akhir daripada pemerintahan Soeharto. Sederet nama pun muncul setelahnya. Mereka disebut-sebut sebagai korban yang hilang keberadaannya, akibat begitu berani melontar kritik pada ‘kerajaan’. Akan tetapi, sejarah lagi-lagi tidak menyinggungnya. Sejarah hanya mampu mengenang nama-nama yang hilang, lalu menyematkannya sebagai pahlawan reformasi.

Sedikit mengharukan, tapi juga cukup basi. Beruntungnya, para sastrawan terdahulu bermurah hati membagikan momen tersebut. Leila Salikha Cludori adalah salah satu yang termasuk di dalamnya. Melalui novel berjudul “Laut Bercerita”, Leila membagi sejuta cerita yang dialami mahasiswa pada masa itu, saat berdarah-darah dalam memperjuangkan keadilan. Bahwa saat sebelum Kerusuhan Mei pecah, ada beberapa mahasiswa yang diculik dan hilang, sebab dianggap musuh bagi pemeritahan.

Satu hal paling menarik dari buku sejumlah 379 halaman ini adalah klimaks yang ditempatkan dalam prolog. Tidak seperti novelis kebanyakan yang hanya menggunakan klimaks sebagai pemicu rasa penasaran, Leila benar-benar memfungsikan klimaks miliknya sebagai pembuka cerita. Melalui tokoh utama ciptannya, Leila mengajak pembaca menyelam ke dasar laut untuk mendengar sebuah kisah dari Biru Laut. Sosok mahasiswa dengan semangat juang yang tidak pernah padam, harus berakhir di dasar laut terdalam—tanpa siapapun mengetahui kabarnya.

Dinamika kehidupan Laut pun digambarkan begitu apik oleh wanita kelahiran 1967 tersebut. Saat pembaca masih tertegun dan bertanya-tanya terkait buntut dari ketertenggelaman itu, Leila menjawabnya dengan membawa pembaca kembali pada saat Laut memulai ‘gerakannya’. Pada masa permulaan itu, Laut yang memang sedari kecil memiliki kesadaran atas kondisi bangsanya yang sedang tidak baik-baik saja, bertemu dengan sosok-sosok yang memiliki kesadaran serupa dengannya. Sebut saja Organisasi Winatra, beserta para aktivisnya: Bram, Kinan, Sunu, Daniel, Alex, Anjani, Julius, dan lain sebagainya.

Meskipun barangkali Winatra hanyalah imaji dalam alam pikir penulis, namun semangat di dalamnya nyata adanya. Leila tampak seolah ingin membagi semangat itu melalui sosok Laut dan pergerakan Winatra. Karakter kesemuanya pun digambarkan dengan begitu hidup dan gagah. Diskusi-diskusi yang tetap aktif dan berjalan. Pergerakan-pergerakan yang terus digalakkan. Mahasiswa pada masa itu seolah tidak mengenal takut untuk terus menyuarakan keadilan, meski tahu aparat ada dimana-mana.

Salah satu bukti keberanian itu adalah saat Laut, untuk pertama kalinya, mendapat tekanan dari Aparat. Laut bersama beberapa temannya diseret ke sebuah ruang antah berantah, demi sebuah jawaban perihal tujuan Aksi Blangguan yang bahkan saat itu batal diadakan, karena polisi telah berjaga di wilayah tersebut. Mereka bahkan mendapat beberapa siksaan—seperti diinjak, dipukul, ditampar, dan disetrum—hanya karena tidak memberikan jawaban yang memuaskan.

Pada bagian ini, Leila mengajak bagi setiap pembaca cerita Laut untuk turut merasakan siksaan yang hampir-hampir tidak manusiawi. Terlebih, para aparat—dalam cerita Leila—tampak sebagai sosok yang justru menikmati siksaan itu. Melalui untaian katanya, Leila seolah ingin membakar rasa marah pembaca dalam merasakan sederet siksaan tidak berdasar itu. Bersamaan dengan hal itu pula, Leila menenangkan pembaca dengan semangat dan keyakinan para aktivis Winatra yang sama sekali tidak terguncang, dan akan terus melanjutkan perlawanan.

Menariknya lagi, Leila bahkan tidak menggambarkan semangat berapi-api itu dengan cara klise. Alih-alih menarasikan sosok aktivis yang gemar membagikan orasi membara, pembaca justru seolah diajak masuk dalam lingkar para aktivis Winatra. Pembaca adalah Winatra itu sendiri. Pembaca adalah mahasiswa yang sadar akan perubahan. Pembaca adalah mahasiswa yang gemar berdiskusi dan mengadu bahan bacaan. Pembaca adalah mahasiswa yang tidak takut bersuara dan terus melawan. Pembaca adalah mereka yang tidak gentar terhadap serangkaian siksaan.

Pada bagian penting dalam buku ini, Leila benar-benar ingin memastikan semangat dan ambisi perubahan itu sampai pada perasaan pembaca. Pun halnya dengan bagian penting kedua dalam buku ini. Leila ingin membagi sisa-sisa keputusasaan yang tertinggal dalam ‘sel kecil itu’ kepada para pembaca.

Setelah siksaan pertama dalam aksi Blangguan, Laut beserta kedua temannya pun menjadi buron pada beberapa bulan kemudian. Mereka sempat mengungsi ke Sumatera dan berpindah-pindah tempat. Sampai pada persembunyiannya yang ke sekian, Laut kembali tertangkap. Kedua temannya menyusul beberapa hari kemudian. Kali ini masa penangkapan mereka begitu lama. Siksaan yang didapat pun begitu menguras akal sehat dan tenaga. Mereka diikat, dipukul, disetrum, digantung, disiksa menggunakan semut merah, serta disuruh berendam dalam balok es selama beberapa jam.

Meskipun semua siksaan itu membuat Laut semakin tidak berupa, namun ada satu hal yang begitu membuatnya putus asa. Dalam salah satu siksaan itu, Laut melihat Gusti, teman satu perjuangannya, menyapa dan tersenyum padanya bersama para penyiksa yang lain. Akan tetapi, Laut tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menjawab sapaan itu dengan ludahan, kembali ke sel kecil nan sempit untuk kemudian memberi tahu ‘kejutan besar’ itu kepada teman-temannya, lalu meratapi kenaifannya.

Pada bagian inilah, Leila terasa begitu jujur dalam membagi keputusasaan Laut. Menariknya, keputusasaan itu muncul karena sebuah pengkhianatan, dan bukan karena sederet siksaan. Hal ini jelas membuktikan betapa Laut tidak akan hancur dalam tekanan. Sebaliknya, Laut justru jatuh dalam jurang penyesalan yang dibuatnya sendiri. Ia merutuki dirinya sendiri yang begitu naif, saat mengira semua temannya memiliki cita yang sama dengan dirinya—tanpa terkecuali.

Semua perasaan itu seolah membuatnya mati rasa. Sesaat setelah memberikan kesaksian pada teman-temannya, ke-mati rasa-an itu seolah menguar ke seluru penjuru sel. Mereka bergantian mulai mengenang orang terkasih dengan perasaan hampa. Tidak ada tangisan. Tidak ada ratapan. Mereka menceritakan berbagai kenangan dan harapan seperti hari biasa, saat mereka sedang tidak berada dalam sebuah sel. Bahkan, Laut yang sedari awal percaya akan keberhasilan dari ujung pergerakan mereka pun, telah sampai pada tahap perkiraan bahwa ia tidak akan kembali. Dan benarlah, hal itu terjadi.

Leila pun menutup ceritanya dengan luar biasa. Untuk menceritakan kepergian sang tokoh utama, Leila mengganti POV Laut menjadi POV Asmara, adik Laut. Meski ia sendiri telah kehilangan kakaknya, namun ia menjadi tempat ‘menitipkan harapan’ bagi keluarga lain yang juga telah ditinggalkan. Termasuk orang tuanya sendiri. Asmara terpaksa menjadi sosok yang kuat, di saat orang tuanya begitu rapuh kehilangan anak pertama mereka. Bahkan bagi Alex (teman Laut yang kembali sekaligus kekasihnya) dan Anjani (kekasih Laut), Asmara adalah sosok penenang bagi mereka.

Meskipun sama-sama cerdas dan hobi membaca, Asmara dan Laut hampir jauh berbeda. Mereka memiliki karakter berbeda, serta pilihan jalan hidup yang berbeda. Akan tetapi, pasca penghilangan, Leila seolah ingin menghadirkan Laut pada diri Asmara. Barangkali itulah sebabnya, Asmara menjadi obat penawar bagi siapapun yang telah merasa kehilangan. Beruntungnya, seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai sadar bahwa Asmara adalah Asmara. Sehingga pada Aksi Kamisan di depan istana negara, Asmara beserta semua keluarga yang ditinggalkan, kompak menuntut penjelasan atas berbagai nama yang dihilangkan.

Leila Salikha Cludori, sekali lagi, menutup ceritanya dengan begitu ciamik. Ia menitipkan rasa kehilangan dari para keluarga yang ditinggalkan, untuk terus menjadi pengingat bagi para pembaca. Lebih daripada itu, Leila melalui karyanya berjudul “Laut Bercerita”, berhasil mendokumentasikan sejarah kelam yang hampir-hampir dilupakan orang. Selamat mengenang bersama Leila!


Penulis: Salsadilla Musrianti H.

Posting Komentar

To Top