Pelajaran dari Sutan Sjahrir untuk Bangsa Kita
Memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia berarti juga turut mengupayakan “kebebasan” masyarakat di
dalamnya. Prinsip seperti inilah yang agaknya selalu dipegang oleh Bung Kecil,
Sutan Sjahrir. Meski akhir hidupnya dihabiskan di dalam penjara dan meninggal
dalam status sebagai tahanan politik, upaya Sjahrir dalam mewujudkan manusia
ideal, bebas, mandiri, dan rasional patut kita lanjutkan.
Sjahrir
dilahirkan pada 5 Maret 1909 di Pandangpanjang, Sumatera Barat. Ia besar di
lingkungan yang mayoritas masyarakatnya adalah kaum pekerja kuli. Keadaan ini
imbas dari eksploitasi sistem kapitalisme kolonial kala itu. Berbeda
dengan keluarga Sjahrir, mereka hidup berkecukupan berkat pengangkatan ayahnya
menjadi penasehat Sultan Deli, sehingga kemudian mampu menyekolahkan anak-anaknya
ke sekolah terbaik dan modern.
Pada
tahun 1915, di usia enam tahun, Sjahrir masuk ke ELS (Europeesche Lagere
School) kemudian melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs), sekolah terbaik di Medan hingga lulus pada tahun 1923.
Setelah tamat pada 1926, ia merantau ke Bandung dan masuk ke AMS (Algemne
Middlebarne School), sekolah menengah berbahasa Belanda (Mrazek, 1996).
Sjahrir meneruskan studi tingginya di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam.
Namun, pada 1931, ia memutuskan untuk berhenti kuliah dan kembali ke Indonesia
untuk terjun dalam pergerakan nasional.
Perjuangan
Sjahrir dalam membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisme, baik pra
maupun pasca kemerdekaan penuh dengan taktik dan kecerdikan. Perjuangannya itu
didasarkan pada semangat kebangsaan dan pembelaan terhadap kaum yang tertindas.
Kepekaannya terhadap gejala sosial yang terjadi di negaranya tentu tidak datang
secara tiba-tiba. Proses interaksi melalui pendidikan dan pembacaanya terhadap
budaya telah berhasil membentuk jiwa sosialis dalam diri seorang Sjahrir.
Cita-Cita
Kebebasan
Sjahrir
memiliki pemikiran yang cemerlang dan menarik untuk dikaji ulang. Ide dan
gagasannya mengenai kebangsaan selalu mengarah jauh ke depan. Ia memimpikan
negeri yang memiliki budaya dan mampu menentukan jalannya sendiri. Sebuah
gagasan yang dulu tidak mampu dipahami bangsanya karena dianggap melampaui
zaman.
Pemikiran
Sjahrir yang demikian itu dipengaruhi oleh ideologi sosialisme yang telah ia
pelajari sejak remaja dari buku-buku filsuf sosialis seperti Marx. Cita-cita
kebebasan dan kemandirian telah menginspirasi Sjahrir untuk menjadikan sosialisme
sebagai ideologi pemikirannya. Namun, aa tidak menerima ideologi itu berdasarkan
doktrin. Sjahrir mengelaborasinya agar sesuai dengan keadaan masyarakat di
Indonesia, yang kemudian ideologi itu bisa kita sebut sebagai Sosialisme
Kerakyatan.
Maka berbeda
dengan Marx, sosialisme menurut Sjahrir harus didasarkan pada etika dan
moralitas. Lebih dari itu, sosialisme harus mengakui dan menjunjung tinggi
persamaan derajat setiap individu. Dengan kata lain, dasar fundamental
pemikiran ini hendaknya diletakkan di atas kepentingan dan cita-cita
kerakyatan.
Pemikiran
Sjahrir itu diperkuat dengan ikatan zaman dan kebudayaan yang ada di
sekelilingnya. Salah satu ide dan gagasan besarnya mengenai pandangan politik yang
hingga kini masih dijadikan ideologi kuat bangsa ialah tidak memihak Barat dan
juga Timur. “…Tapi mengapa kita mesti memilih antara budak dan tuannya, mengapa
mesti memilih antara Barat yang kapitalis dan Timur yang
menghamba?...kedua-duanya sesungguhnya harus dan sedang menjadi masa silam”
(Sjahrir, 1990).
Gagasan
Sjahrir mengenai kebangsaan tersebut tidak pernah ditujukan untuk kekuasaan,
seluruh perjuangan Bung Kecil murni berlandaskan kemanusiaan. Maka tidak
mengeherankan jika pernah ia menyampaikan pidato sebagaimana berikut: “…Kebangsaan
kita hanya jembatan untuk mencapaí derajat kemanusiaan yang sempurna, bukan
untuk memuaskan dirí sendiri kita, sekali-kali bukan untuk merusakkan pergaulan
kemanusiaan…Kebangsaan kita hanya satu roman dari pembaktian kita kepada
kemanusiaan…” Pidato ini disampaikan Sjahrir ketika Hari Ulang Tahun pertama
Republik Indonesia, di tengah agresi militer Belanda dan teriakan masyarakat
yang penuh kecemasan.
Dari
ungkapannya di atas, kita dapat merasakan bagaimana Sjahrir meletakkan sebuah
dasar tertinggi yang lebih dari sekadar pembentukan negara merdeka dan mandiri
yaitu kemanusiaan. Rasa-rasanya, pidato yang disampaikan 78 tahun lalu itu
masih aktual, khususnya dalam keadaan Indonesia saat ini. Kurun waktu yang tak
lagi bangga terhadap ihwal kemanusiaan. Lebih-lebih masyarakat kelas bawah yang
semakin terpinggirkan dan terinjak. Mereka seolah tak pernah diberi kesempatan untuk
bangkit, melainkan hanya dijadikan komoditas kebijakan yang mengatasnamakan
rakyat kecil.
Optimisme
Sjahrir mengenai gagasan sosialistisnya itu, turut menggugah keyakinan saya
bahwa, di kemudian hari, bangsa Indonesia akan mampu mewujudkan revolusi
sosial, mengakhiri feodalisme dan fasisme, membebaskan masyarakat, terutama
rakyat kelas bawah dari penindasan serta penghinaan. Terlihat terlalu idealis,
tetapi paling tidak, prinsip ini senafas dengan maksud Pancasila dan UUD 1945.
Menjalankan
Kewajiban
Dalam
perjalanan histori bangsa Indonesia, kita barangkali mengenal Sjahrir sebagai
tokoh perintis dan revolusioner kemerdekaan Indonesia, politikus, dan diplomat.
Namun, melihat dari rekam jejak kehidupan dan pemikirannya, ia lebih pantas
dikenal sebagai negarawan, ilmuwan, penulis, dan ahli filsafat. Sebenarnya
Sjahrir juga sama sekali tidak memiliki kepribadian, bahkan kecintaan terhadap
politik. Salomon Tas, teman diskusi Sjahrir ketika masih menjadi mahasiswa di
Belanda mengungkapkan, dia terlibat dalam dunia tersebut atas dasar kewajiban,
bukan berdasarkan minat.
Kita
sama-sama tahu bahwa perjuangan politikus tidak lain untuk mencapai kemenangan
di atas tampuk kursi kekuasaan. Negarawan pun tentu menginginkan kemenangan,
tetapi bukan untuk pribadinya. Ia memikirkan proses berbangsa yang bersih dari
prinsip feodal dan fasisme, apalagi otoritarian. Cara-cara yang dilakukan selalu
berasaskan etika dan terikat kuat dengan hak-hak semua warga negara. Jika kita
lihat lebih dekat, prinsip ini akan begitu melekat dalam diri seorang Sjahrir.
Menurut
kesaksian Arnold Brackman, seorang jurnalis asal Amerika, Sjahrir mengerti dan
menyadari kelemahan rakyat Indonesia—pada saat itu, dan barangkali sampai saat
ini—yang mudah terpukau secara politik. Meskipun begitu, ia mampu melihat
kekuatan dan kemampuan yang riil dari bangsanya sendiri: tak tergoyahkan, yakin
akan masa depan yang gemilang.
Dari
kepribadian Sjahrir itu, barangkali kita bisa mengetahui ekspresinya yang
mantap sekaligus optimis, tetapi tetap tenang dan penuh perhitungan dalam
mengambil langkah untuk bangsanya. Lihatlah ketika Sjahrir menjadi Perdana
Menteri, strategi yang ia gunakan dalam “percaturan” dunia internasional kala
itu berhasil memperkokoh kedudukan Indonesia. Dalam kondisi mencekam dan
kebuntuan setelah dua bulan Indonesia merdeka misalnya, penguasaanya terhadap
situasi membuat Sjahrir berhasil menemukan jalan keluar melalui strategi
diplomasinya.
Sayang,
upaya Sjahrir di Perundingan Linggarjati justru dianggap sebagai “tengadah
tangan” kepada dunia luar dan tak menghargai perjuangan rakyatnya sendiri oleh
sebagian orang di masa itu. Bahkan, Sjahrir dituduh “menjual Indonesia” kepada
Belanda. Dugaan itu tentu tak berdasar. Hal ini kemungkinan disebabkan
pemberitaan miring yang disampaikan oleh media-media Belanda kala itu untuk
memperburuk situasi politik di Indonesia. Pun, barangkali kesan intelektual
dalam diri Sjahrir yang tidak mampu dimengerti rakyat pada saat itu juga
menjadi salah satu penyebabnya.
Tujuan
perjuangan Sjahrir sebenarnya sangat jelas. Dalam bukunya Perjuangan Kita,
Sjahrir menuliskan, “…lambat laun rakyat banyak di desa dan kota yang
memperhebat perjuangan kita.” Sjahrir tidak pernah mengkhianati bangsanya
sendiri. Seluruh jalan diplomasinya semata-mata ingin menonjolkan citra budaya
dan cinta damai masyarakat Indonesia di mata dunia. Tidak pernah ada alasan
lain kecuali yang berkaitan dengan kebaikan bangsa dan rakyatnya. Kedudukan
sebagai perdana menteri pun bukan sesuatu yang sangat ia dambakan. Sjahrir
tidak pernah mempertahankan jabatan mati-matian, semuanya ia lakukan atas dasar
kewajiban.
Sjahrir
menuliskan, “Bagi kita, kemenangan yang berarti itu ialah kemenangan yang
berisi, bukan kemenangan nama dan kehormatan semata saja.” Terbukti lah
perkataan Sjahrir ini. Namanya seolah hampir dilupakan dalam catatan sejarah
buku pendidikan kita. Tidak banyak orang mengetahui pemikiran-pemikirannya yang
luar biasa itu. Negara yang dulunya pernah ia perjuangkan telah mengasingkan
dirinya dalam kesepian. Toh, kadangkala memang seperti itu, pejuang wong
cilik di negeri ini seringkali berakhir di antah berantah. Kini Sjahrir tak
mampu lagi bersuara, tapi gagasan dan pemikirannya hendaknya mampu menyadarkan
kita.
Oleh: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid
Editor: Lalu Azmil Azizul Muttaqin
Posting Komentar