Pelajaran dari Sutan Sjahrir untuk Bangsa Kita

Sutan Sjahrir; Perdana Menteri Pertama Indonesia. Sumber: https://pin.it/3PMt0MwDW

Memperjuangkan kemerdekaan Indonesia berarti juga turut mengupayakan “kebebasan” masyarakat di dalamnya. Prinsip seperti inilah yang agaknya selalu dipegang oleh Bung Kecil, Sutan Sjahrir. Meski akhir hidupnya dihabiskan di dalam penjara dan meninggal dalam status sebagai tahanan politik, upaya Sjahrir dalam mewujudkan manusia ideal, bebas, mandiri, dan rasional patut kita lanjutkan.

Sjahrir dilahirkan pada 5 Maret 1909 di Pandangpanjang, Sumatera Barat. Ia besar di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya adalah kaum pekerja kuli. Keadaan ini imbas dari eksploitasi sistem kapitalisme kolonial kala itu. Berbeda dengan keluarga Sjahrir, mereka hidup berkecukupan berkat pengangkatan ayahnya menjadi penasehat Sultan Deli, sehingga kemudian mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah terbaik dan modern.

Pada tahun 1915, di usia enam tahun, Sjahrir masuk ke ELS (Europeesche Lagere School) kemudian melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sekolah terbaik di Medan hingga lulus pada tahun 1923. Setelah tamat pada 1926, ia merantau ke Bandung dan masuk ke AMS (Algemne Middlebarne School), sekolah menengah berbahasa Belanda (Mrazek, 1996). Sjahrir meneruskan studi tingginya di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam. Namun, pada 1931, ia memutuskan untuk berhenti kuliah dan kembali ke Indonesia untuk terjun dalam pergerakan nasional.

Perjuangan Sjahrir dalam membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisme, baik pra maupun pasca kemerdekaan penuh dengan taktik dan kecerdikan. Perjuangannya itu didasarkan pada semangat kebangsaan dan pembelaan terhadap kaum yang tertindas. Kepekaannya terhadap gejala sosial yang terjadi di negaranya tentu tidak datang secara tiba-tiba. Proses interaksi melalui pendidikan dan pembacaanya terhadap budaya telah berhasil membentuk jiwa sosialis dalam diri seorang Sjahrir.

Cita-Cita Kebebasan

Sjahrir memiliki pemikiran yang cemerlang dan menarik untuk dikaji ulang. Ide dan gagasannya mengenai kebangsaan selalu mengarah jauh ke depan. Ia memimpikan negeri yang memiliki budaya dan mampu menentukan jalannya sendiri. Sebuah gagasan yang dulu tidak mampu dipahami bangsanya karena dianggap melampaui zaman.

Pemikiran Sjahrir yang demikian itu dipengaruhi oleh ideologi sosialisme yang telah ia pelajari sejak remaja dari buku-buku filsuf sosialis seperti Marx. Cita-cita kebebasan dan kemandirian telah menginspirasi Sjahrir untuk menjadikan sosialisme sebagai ideologi pemikirannya. Namun, aa tidak menerima ideologi itu berdasarkan doktrin. Sjahrir mengelaborasinya agar sesuai dengan keadaan masyarakat di Indonesia, yang kemudian ideologi itu bisa kita sebut sebagai Sosialisme Kerakyatan.

Maka berbeda dengan Marx, sosialisme menurut Sjahrir harus didasarkan pada etika dan moralitas. Lebih dari itu, sosialisme harus mengakui dan menjunjung tinggi persamaan derajat setiap individu. Dengan kata lain, dasar fundamental pemikiran ini hendaknya diletakkan di atas kepentingan dan cita-cita kerakyatan.

Pemikiran Sjahrir itu diperkuat dengan ikatan zaman dan kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Salah satu ide dan gagasan besarnya mengenai pandangan politik yang hingga kini masih dijadikan ideologi kuat bangsa ialah tidak memihak Barat dan juga Timur. “…Tapi mengapa kita mesti memilih antara budak dan tuannya, mengapa mesti memilih antara Barat yang kapitalis dan Timur yang menghamba?...kedua-duanya sesungguhnya harus dan sedang menjadi masa silam” (Sjahrir, 1990).

Gagasan Sjahrir mengenai kebangsaan tersebut tidak pernah ditujukan untuk kekuasaan, seluruh perjuangan Bung Kecil murni berlandaskan kemanusiaan. Maka tidak mengeherankan jika pernah ia menyampaikan pidato sebagaimana berikut: “…Kebangsaan kita hanya jembatan untuk mencapaí derajat kemanusiaan yang sempurna, bukan untuk memuaskan dirí sendiri kita, sekali-kali bukan untuk merusakkan pergaulan kemanusiaan…Kebangsaan kita hanya satu roman dari pembaktian kita kepada kemanusiaan…” Pidato ini disampaikan Sjahrir ketika Hari Ulang Tahun pertama Republik Indonesia, di tengah agresi militer Belanda dan teriakan masyarakat yang penuh kecemasan.

Dari ungkapannya di atas, kita dapat merasakan bagaimana Sjahrir meletakkan sebuah dasar tertinggi yang lebih dari sekadar pembentukan negara merdeka dan mandiri yaitu kemanusiaan. Rasa-rasanya, pidato yang disampaikan 78 tahun lalu itu masih aktual, khususnya dalam keadaan Indonesia saat ini. Kurun waktu yang tak lagi bangga terhadap ihwal kemanusiaan. Lebih-lebih masyarakat kelas bawah yang semakin terpinggirkan dan terinjak. Mereka seolah tak pernah diberi kesempatan untuk bangkit, melainkan hanya dijadikan komoditas kebijakan yang mengatasnamakan rakyat kecil.

Optimisme Sjahrir mengenai gagasan sosialistisnya itu, turut menggugah keyakinan saya bahwa, di kemudian hari, bangsa Indonesia akan mampu mewujudkan revolusi sosial, mengakhiri feodalisme dan fasisme, membebaskan masyarakat, terutama rakyat kelas bawah dari penindasan serta penghinaan. Terlihat terlalu idealis, tetapi paling tidak, prinsip ini senafas dengan maksud Pancasila dan UUD 1945.

Menjalankan Kewajiban

Dalam perjalanan histori bangsa Indonesia, kita barangkali mengenal Sjahrir sebagai tokoh perintis dan revolusioner kemerdekaan Indonesia, politikus, dan diplomat. Namun, melihat dari rekam jejak kehidupan dan pemikirannya, ia lebih pantas dikenal sebagai negarawan, ilmuwan, penulis, dan ahli filsafat. Sebenarnya Sjahrir juga sama sekali tidak memiliki kepribadian, bahkan kecintaan terhadap politik. Salomon Tas, teman diskusi Sjahrir ketika masih menjadi mahasiswa di Belanda mengungkapkan, dia terlibat dalam dunia tersebut atas dasar kewajiban, bukan berdasarkan minat.

Kita sama-sama tahu bahwa perjuangan politikus tidak lain untuk mencapai kemenangan di atas tampuk kursi kekuasaan. Negarawan pun tentu menginginkan kemenangan, tetapi bukan untuk pribadinya. Ia memikirkan proses berbangsa yang bersih dari prinsip feodal dan fasisme, apalagi otoritarian. Cara-cara yang dilakukan selalu berasaskan etika dan terikat kuat dengan hak-hak semua warga negara. Jika kita lihat lebih dekat, prinsip ini akan begitu melekat dalam diri seorang Sjahrir.

Menurut kesaksian Arnold Brackman, seorang jurnalis asal Amerika, Sjahrir mengerti dan menyadari kelemahan rakyat Indonesia—pada saat itu, dan barangkali sampai saat ini—yang mudah terpukau secara politik. Meskipun begitu, ia mampu melihat kekuatan dan kemampuan yang riil dari bangsanya sendiri: tak tergoyahkan, yakin akan masa depan yang gemilang.

Dari kepribadian Sjahrir itu, barangkali kita bisa mengetahui ekspresinya yang mantap sekaligus optimis, tetapi tetap tenang dan penuh perhitungan dalam mengambil langkah untuk bangsanya. Lihatlah ketika Sjahrir menjadi Perdana Menteri, strategi yang ia gunakan dalam “percaturan” dunia internasional kala itu berhasil memperkokoh kedudukan Indonesia. Dalam kondisi mencekam dan kebuntuan setelah dua bulan Indonesia merdeka misalnya, penguasaanya terhadap situasi membuat Sjahrir berhasil menemukan jalan keluar melalui strategi diplomasinya.

Sayang, upaya Sjahrir di Perundingan Linggarjati justru dianggap sebagai “tengadah tangan” kepada dunia luar dan tak menghargai perjuangan rakyatnya sendiri oleh sebagian orang di masa itu. Bahkan, Sjahrir dituduh “menjual Indonesia” kepada Belanda. Dugaan itu tentu tak berdasar. Hal ini kemungkinan disebabkan pemberitaan miring yang disampaikan oleh media-media Belanda kala itu untuk memperburuk situasi politik di Indonesia. Pun, barangkali kesan intelektual dalam diri Sjahrir yang tidak mampu dimengerti rakyat pada saat itu juga menjadi salah satu penyebabnya.  

Tujuan perjuangan Sjahrir sebenarnya sangat jelas. Dalam bukunya Perjuangan Kita, Sjahrir menuliskan, “…lambat laun rakyat banyak di desa dan kota yang memperhebat perjuangan kita.” Sjahrir tidak pernah mengkhianati bangsanya sendiri. Seluruh jalan diplomasinya semata-mata ingin menonjolkan citra budaya dan cinta damai masyarakat Indonesia di mata dunia. Tidak pernah ada alasan lain kecuali yang berkaitan dengan kebaikan bangsa dan rakyatnya. Kedudukan sebagai perdana menteri pun bukan sesuatu yang sangat ia dambakan. Sjahrir tidak pernah mempertahankan jabatan mati-matian, semuanya ia lakukan atas dasar kewajiban.

Sjahrir menuliskan, “Bagi kita, kemenangan yang berarti itu ialah kemenangan yang berisi, bukan kemenangan nama dan kehormatan semata saja.” Terbukti lah perkataan Sjahrir ini. Namanya seolah hampir dilupakan dalam catatan sejarah buku pendidikan kita. Tidak banyak orang mengetahui pemikiran-pemikirannya yang luar biasa itu. Negara yang dulunya pernah ia perjuangkan telah mengasingkan dirinya dalam kesepian. Toh, kadangkala memang seperti itu, pejuang wong cilik di negeri ini seringkali berakhir di antah berantah. Kini Sjahrir tak mampu lagi bersuara, tapi gagasan dan pemikirannya hendaknya mampu menyadarkan kita. 

 

Oleh: Muhammad Reza Pahlevi Mufarid 

Editor: Lalu Azmil Azizul Muttaqin

Posting Komentar

To Top