Dua Pribadi
1. Raya
Pertandingan bola kali ini, akan menentukan siapa yang pantas dinobatkan menjadi kampung juara. Kala itu, matahari nampak semakin turun ikut menyaksikan pertandingan kami. Strategi permainan sudah aku persiapkan matang-matang. Anggota tim sudah kupastikan pula untuk memahami strategi-strategi yang kusampaikan. Peluit pun ditiupkan untuk memulai babak 15 menit pertama.
Bola dioper dengan sangat mulus. Tendang ke kanan tendang ke kiri. Trik oper bualan kami luncurkan ketika mendekati gawang. Ketika kiper lawan sedang lengah, saat itu sorak penonton seakan menamparnya.
“Goolll.”
Gemuruh dalam dan luar lapangan merayakannya, kecuali tim lawan. Saat itu waktu menunjukkan 2 menit terakhir babak pertama. Sepertinya, tim lawan sudah kena mental. Aku berpesan sedikit kepada anggotaku bahwa jangan sampai jemawa.
Peluit ditiupkan kembali. Peringatan babak 15 menit kedua akan dimulai. Sepertinya, kapten lawan selesai membuat strategi baru. Aku tetap tenang melihat lemparan sinis mata dan seringai bibir mereka saat tendangan pertama dimulai.
Bola masih dikuasai tim kami. Maju mundur aku membawa bola tersebut. Anggota tim lawan tiba-tiba muncul dari belakang akan mengambil alih bola. Namun, ternyata dia melakukan diving. Keberuntungan berada di pihak mereka. Wasit meniup peluit tanda pelanggaran. Kami protes tak mengindahkan keputusan itu. Tapi wasit tutup telinga dengan protes kami.
Aku melihat kapten lawan sedang senyum tipis melihat kericuhan ini.
Dengan geram, aku menghampirinya. Apa maksud tindakan itu?! Akal bulus punya
siapa itu?! Apa ini cara bermain agar juara?!
Kapten lawan menjawab, “Hei, cewek gila. Kamu tidak malu berteriak depan laki-laki di tengah lapangan ini? Sudahlah, terima saja keputusan wasit. Tidak ada yang akan mempercayai ucapan kapten sepertimu.”
Wasit meniup peluit meleraikan pertikaian kami. Jika perselisihan ini berlanjut wasit akan mengeluarkan kartu merah, katanya. Wasit meniup peluit kedua kalinya. Tanda babak kedua dimulai lagi. Waktu menunjukkan 5 menit terakhir. Bola kugiring sampai di seperempat lapangan tim lawan. Kutendang dengan kencang menuju gawang, tubuh gempal Raja Licik menghalangi jalan laju bolaku. Bola dikuasai oleh Raja Licik dengan larinya yang gesit. Kiper timku lengah, akhirnya bola masuk kedalam gawang.
Peluit terakhir wasit di ujung waktu babak dua ditiup Panjang. Sambil iringan sorak sorai pendukung tim Raja Licik memenangkan pertandingan. Aku masih teringat dengan ketidakadilan wasit mengambil keputusan.
Terlihat wajah Raja Licik senyum sombong. Aku menghampirinya lalu mendorong bahu kanannya sampai dia mundur. Aku maju dan mendorongnya lagi. Dia naik pitam mendorong balik bahu kananku. Aku semakin meledak sehingga terjadi perkelahian antara kami. Pantas saja dia dijuluki Raja Licik.
2. 2. Ruli
Aku sedang fokus menata kota. Membangun infrastruktur dengan begitu
apiknya. Puluhan hektar perkebunanku sedang dalam masa panen. Ternak sapi,
domba, ayam sudah bercabang di mana-mana.
Connection not responding
Ah, sial. Kenapa aplikasi ini harus memakai jaringan internet?!
“Ruli, bukannya Raya ada pertandingan hari ini? Kamu harus hadir di sana. Barangkali Raya membutuhkanmu, Nak.”
Tidak memaksa, namun kata-kata ibu seperti mantra yang harus ku turuti. Aku beranjak dari kamar menuju lapangan. Membawa minum yang ibu siapkan untuk Raya. Ketika melihatnya bertanding, selalu saja terlintas, mengapa Raya gemar sekali bermain di lapangan? Dan itu adalah pertanyaan yang sangat tidak mungkin ada jawabnya.
Aku menantikan kejadian menit-menit terakhir setiap babak. Benar saja, kali ini terjadi lebih lama dari dugaanku, di babak kedua. Tidak lengkap rasanya jika tidak melihatnya adu dorong dengan pemain lawan.
Setelah dilerai oleh pemain di lapangan dan wasit yang ikut
terdorong, aku dihampiri Raya dan anggota-anggotanya. Aku memberikan minum.
“Aku antar pulang.”
“Bukan salahku, Rul. Dia yang melakukan diving di
tengah-tengah pertandingan. Sialnya wasit tidak fokus saat itu.”
Aku tetap diam mendengarkan keluh kesahnya, karena jika aku mengomentari dan tidak berpihak padanya, maka aku yang akan kena pukulannya.
“Yuk, pulang.”
Kalimat itu akhirnya terucapkan darinya. Di sepanjang jalan, aku memancingnya untuk bercerita kejadian tadi. Dia enggan untuk bersuara. Menjawab pertanyaanku dengan singkat dan padat. Kebanyakan dia menggumam tentang strategi apa yang tepat untuk mengalahkan lawannya tadi.
Aku mengajaknya melipir sebentar di taman. Melihat anak-anak kecil berlarian, warna-warni bunga penghias jalan, dan keluarga kecil sedang menata perbekalannya. Ku persilahkan dia untuk duduk di ayunan. Tapi dia tak menghiraukan dan duduk selonjoran di atas rumput. Aku menyusul duduk di sampingnya.
“Bagaimana kalau masing-masing dari kita sudah berkeluarga seperti
itu ya?”
“Aku tidak suka anak kecil.”
“Suatu saat, kamu akan mempunyai anak kecil.”
“Aku akan tetap bermain bola dan aku akan menolak lamaran siapa
saja yang melarang aku menyentuh bola.”
“Mengapa kamu sangat terobsesi dengan bola?”
“Seperti kamu memainkan penataan kota, zombie, dan tts di gawaimu.”
Aku kehabisan kata-kata untuk menyangkalnya lagi.
3. 3. Raya
dan Ruli
Tamu tidak habis-habisnya mengantri di jalan resepsionis. Para petugas terima tamu sepertinya lelah memberikan senyum palsu kepada mereka. Sejenak dua sejoli ingin merasakan empuk sofa pelaminan, namun tangan-tangan tamu tak berhenti untuk menjabat tangan mereka.
Dari kejauhan, pengantin pria melihat salah satu tamu bersama dua anak dan suaminya mencari tempat duduk. Pengantin pria meminta izin kepada pengantin wanitanya untuk mendatangi tamu tersebut. Dilihat tamu itu dengan tamat-tamat. Gaun jatuh hampir menyentuh tanah, anggun. Eyeshadow merah muda dengan nuansa kelap-kelip gliter di mata, merah di pipi terlihat alami, dan sedikit goresan cat di bibirnya. Lalu berpaling pada sosok di sampingnya. Kemeja putih diselimuti jas hitam menawan, merah marun dasi menghiasi lehernya.
“Selamat datang sobat rivalku.”
“Selamat ya, Bon. Akhirnya kamu menyusul kita juga.” Seringai
senyum manis dari tamu tersebut.
“Kami membawakan hadiah untukmu.”
“Hadiah ini sangat berharga bagiku. Bagaimana kalau selepas acara
kita bertanding dengan bola ini?”
“Aku tidak mau. Kamu akan mengeluarkan strategi licik itu lagi.”
Setelah Raya sekeluarga digiring oleh Raja Licik untuk duduk di kursi. Mereka beradu masa lalu; Bagaimana asal usul Boni bisa mendapatkan gelar itu, Luluhnya Raya dan Ruli sehingga bisa menikah, dan tangisan balita di pangkuan Raya.
Posting Komentar