Apatis Moderat dan Aktualisasinya Bagi Azhari

 


Mendengar kata apatis, mayoritas orang mempersepsikannya sebagai sikap yang patut dihindari.
Sikap tersebut seolah menghilangkan identitas manusia sebagai makhluk sosial,
yang tidak peduli terhadap sekitar. Benarkah demikian? Sayangnya, pertanyaan
tersebut tidak bisa dijawab secara pasti dengan satu kata ‘iya’ atau ‘tidak. Pembahasan
terkait hal ini begitu kompleks, bergantung pada konteks dan aktualisasinya.
Sehingga, apatis tidak selamanya negatif, begitupun sebaliknya, tidak selamanya
positif.

Apatis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sikap acuh tak acuh, tidak peduli, dan
masa bodoh. Definisi ini cukup gamblang dan tidak memerlukan keterangan lebih
lanjut. Berdasarkan definisi tersebut, sikap apatis dapat diasumsikan sebagai
reduksi atensi terhadap suatu hal atau objek tertentu. Dengan kata lain, sikap
apatis memerlukan objek tertentu dalam aktualisasinya.

Objek tersebut sangat berperan penting dalam penilaian sikap apatis. Variabel tersebut menjadi
tolak ukur justifikasi positif dan negatif dari sikap apatis. Misalnya, seorang
musisi bersikap masa bodoh terhadap isu-isu politik yang sedang hangat
dibicarakan. Apakah sikap tersebut menjadi hal yang negatif baginya? Tentu saja
tidak; karena objek tersebut tidak berkaitan langsung dengan kehidupan si
musisi. Berbeda halnya, bila musisi tersebut bersikap apatis terhadap
perkembangan dunia musik. Hal tersebut tentunya menjadi kekurangan dan
menghambat perkembangan karirnya dalam dunia musik. Sehingga, sikap tersebut
bisa diasumsikan sebagai hal yang negatif bagi si musisi. Dua kasus tersebut
sama-sama mencerminkan sikap apatis dari seorang musisi. Namun, objek apatis
tersebut berbeda satu sama lain. Sehingga, konklusi yang dihasilkan dalam
penilaiannya juga berbeda, bahkan menjadi kontra. Sehingga, cukup jelas bahwa
faktor berupa objek ini, memiliki peran yang signifikan dalam menilai sikap
apatis.

Selain variabel objek, tentunya variabel subjek memiliki peran penting juga. Bagaimana tidak?
Subjek dan objek dalam suatu fenomena selalu memiliki korelasi yang kuat.
Misalnya, seperti contoh kasus di atas, seorang musisi yang bersikap apatis
terhadap isu politik tidak menjadi masalah yang berimplikasi negatif terhadap
perkembangan karirnya. Berbeda halnya bila yang melakukan hal tersebut adalah
politisi atau pengamat politik. Tentunya hal tersebut tidak boleh lepas dari
atensi seorang politisi. Sehingga, faktor subjek ini juga memiliki pengaruh
yang signifikan dalam justifikasi sikap apatis.

Dengan visualisasi tersebut, cukup jelas bahwa subjek dan objek sikap apatis menjadi
dua faktor penting dalam menentukan sisi positif dan negatif dari sikap apatis.
Bisa dilihat bagaimana kasus dengan subjek yang sama, akan tetapi berbeda
objek, menghasilkan konklusi yang berbeda. Begitupun sebaliknya, subjek yang
berbeda dan objek yang sama menghasilkan konklusi yang berbeda pula. Sehingga,
kurang bijak rasanya bila kita memandang sikap apatis sebagai sikap yang
sepenuhnya negatif.

Sikap apatis ini sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Di era digital ini, di mana informasi
menyebar kian cepatnya, kita perlu menentukan hal-hal prioritas dalam hidup
masing-masing. Sehingga, kita perlu memangkas atensi dan bersikap apatis pada
hal-hal di luar prioritas. Hal ini dikarenakan kapasitas manusia yang terbatas
untuk mencurahkan atensi pada semua hal. Jadi, apatis dalam konteks ini
memberikan dampak yang positif untuk mencapai tujuan masing-masing individu.

Sebagai bentuk aktualisasi, konsep tersebut perlu kita terapkan pula dalam kehidupan nyata,
khususnya dalam lingkup Mahasiswa Indonesia yang tengah mengenyam pendidikan di
Mesir (Masisir). Dalam kasus ini, kita
sebagai mahasiswa yang menyebut dirinya seorang azhari, perlu
menentukan objek-objek fundamental yang memerlukan atensi khusus. Sebaliknya,
kita juga perlu menyampingkan hal-hal selain objek fundamental tersebut. Lantas
hal apa yang seharusnya menjadi perhatian khusus bagi seorang Azhari? Bagitupun
sebaliknya, hal apa yang perlu dikesampingkan bagi seorang Azhari?

Untuk meneguhkan dan menjaga identitas sebagai Azhari, tentunya hal utama yang harus
diprioritaskan ialah kualitas intelektual. Hal ini tentu tidak diragukan
keabsahannya bagi seorang Azhari tulen. Selain itu, perangkat-perangkat untuk
mencapai kualitas tersebut, seperti: kondisi finansial, fisik, mental, dan
penunjang lainnya juga tidak bisa dikesampingkan. Sebagaimana kaidah
Yurispudensi Islam (Usul Fikih) yang mengatakan, “mâ lâ yatimmu al-wâjib
illâ bihi fahuwa wâjib
”. Sehingga, apatis terhadap hal-hal di luar kategori
tersebut bukanlah hal negatif bagi seorang Azhari. Begitupun sebaliknya, apatis
terhadap kualitas intelektual akan menjadi malapetaka bagi seorang yang
mengklaim dirinya sebagai Azhari. Maka dari itu, sudah selayaknya kualitas
intelektual menjadi prioritas utama bagi seorang Azhari.

Sayangnya, realita yang terjadi tak jarang menyeleweng dari konsep tersebut. Masih banyak
Masisir yang belum paham prioritasnya. Sehingga, mereka menyampingkan kualitas
intelektual yang seharusnya menjadi prioritasnya. Bahkan, seringkali bersikap
apatis terhadap kualitas intelektualnya. Hal ini tentunya akan merusak
statusnya sebagai seorang Azhari.

Maka dari itu, untuk menjadi seorang Azhari yang utuh, kita perlu menjadikan kualitas intelektual
sebagai prioritas utama. Selain itu, menentukan hal-hal yang bukan prioritas
juga tak kalah pentingnya. Sehingga, status identitas kita sebagai seorang
Azhari dapat dipertanggungjawabkan.

Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi disini ialah, memprioritaskan kualitas intelektual
tidak mengharuskan kita untuk bersikap apatis terhadap hal-hal lain. Tidak ada
salahnya bagi seorang Azhari untuk menekuni bidang lain. Hanya saja, porsi
antara sisi intelektual dan bidang lainnya perlu diperhatikan. Selama hal
tersebut tidak mengganggu sisi intelektual seorang Azhari, maka sah-sah saja
untuk berkecimpung di bidang tersebut. Bahkan, hal itu menjadi nilai plus bagi
seorang Azhari. Jadi, sebagai seorang Azhari, juga seharusnya tidak menyabotase
dirinya untuk eksplorasi hal-hal baru di luar prioritasnya. Sehingga, sikap
apatis yang moderat dan positif dapat direalisasikan dalam kehidupan seorang
Azhari.

Sikap apatis yang moderat ini terbukti sangat membantu dalam menentukan skala prioritas
kehidupan. Menentukan hal-hal prioritas, sekaligus mengeliminasi hal-hal di
luar prioritas sangatlah dibutuhkan untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi,
apatis pada hal dan kondisi yang tepat memang seharusnya diterapkan oleh
masing-masing individu

Walhasil, apatis tidak bisa diasumsikan sebagai sikap negatif secara mutlak. Bahkan,
sikap ini sangat dibutuhkan, terutama di era modernisasi ini. Visualisasi dan
aktualisasi di atas cukup menunjukkan urgensi penerapan sikap apatis. Sehingga,
dengan objek dan moderasi yang tepat, sikap apatis menjadi kebutuhan yang harus
diterapkan dalam kehidupan. Lebih khususnya, untuk diterapkan dalam lingkup
masisir yang ingin meneguhkan identititasnya sebagai Azhari.


Oleh: Jawahir Kamal

Posting Komentar

To Top