Air Mata Dibalik Semarak Festival



Di sudut kota, tepat di bantaran sungai, hiduplah keluarga kecil sederhana, teramat sederhana bahkan untuk menyebutnya sederhana. Sang bapak berjualan sandal keliling. Dan si anak yang biasanya masuk sekolah pun, turut membantu bapaknya berjualan trompet di hari libur panjangnya. Sedangkan sang ibu, tak bisa turut membantu lantaran telah sakit selama seminggu dan tak kunjung membaik.

Warga ibu kota, tengah menanti datangnya hari festival raya yang bertepatan dengan tahun baru masehi. Mereka sangat antusias menyambut festival. Terlihat sebagian dari mereka menghias rumah dan mempercantik halaman. Jalanan mulai ramai, terlihat animo masyarakat sangatlah besar karena ini bukanlah sembarang perayaan. Semua sudah menanti festival ini sepanjang tahun. Mulai dari anak-anak hingga orang tua semua terpikat dalam riuh festival ini.

Bagi keluarga sederhana itu, malam ini dengan segala kemeriahannya merupakan potensi uang yang tak boleh terlewatkan begitu saja. Sang bapak membeli bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat trompet mulai dari; limbah kertas, lem, kertas warna warni dan sebagainya. Si anak pun turut membantu dengan menyiapkan beberapa baskom dan mengeringkan limbah kertas yang sudah dicetak.

Malam festival raya pun tiba, warga kota turun ke jalan turut menyemarakkan festival. Ibu kota berkilauan malam ini. Bak perawan yang bersolek tatkala dipinang sang pangeran, ia tampak memukau menyilaukan mata memandang. Lampion khas peranakan Cina, menghiasi hampir seluruh ibu kota. Gegap gempita terasa begitu menyesakkan dada, hingar bingarnya memekakkan telinga. Kota yang biasanya penuh sesak oleh kendaraan berganti penuh desak manusia di jalanan. Pedagang asongan menjajakan aneka ragam makanan ringan, minuman dingin, dan mainan. Para muda-mudi bercengkerama di hamparan rumput alun-alun, di bawah sorot lampu kuning, disertai alunan lagu para pengamen yang berjuang mengais cuan. Malam yang menyenangkan.

Sang bapak dengan semangat mengajak si anak menuju pusat kota dengan mengendarai sepeda kayuh tuanya. Mereka berpisah dipusat kota untuk menjajakan trompet yang mereka bawa.

“Ingat pesan bapak nak, jajakan trompet yang kamu bawa semampumu. Tidak perlu memaksa sampai habis. Nanti kalau sudah selesai, langsung pulang ke rumah Jangan keluyuran”. pesan sang bapak kepada si anak

“Iya pak”. timpal si anak

 Anak itu mulai menjajakan trompetnya keliling alun-alun sembari berharap ada sepasang muda-mudi yang tertarik membeli trompet kepala naga miliknya.

“Teeeet, trompetnya mas, trompetnya mbak”

Terlihat di sisi alun-alun layar besar yang menampilkan gambar panggung utama. Penampilan utama memang belum dimulai dan festival belum mencapai klimaks, tapi pusat kota seakan tak memiliki ruang lagi. Dan si anak masih belum menghabiskan dagangannya.

“Semoga nanti bisa habis dan dapat uang banyak,” batinnya dengan optimis.

Festival yang juga bertepatan dengan tahun baru masehi itu semakin menuju tengah malam semakin seru. Waktu menunjukkan pukul 00.00 waktu setempat. Trompet bersahutan memekakkan telinga. Para warga bersorak-sorai gembira. Malam semakin meriah, kembang api diluncurkan, trompet ditiup, tapi anak itu tak kunjung jua menghabiskan trompetnya. 

Ia sudah kelelahan berkeliling sepanjang malam membawa keranjang rotan berisikan trompet naga merah. Dengan umur yang masih terhitung belia untuk berdagang disaat semua orang bersenang-senang, wajarlah jika ia letih dan ingin pulang sebelum acara selesai. Tidak mudah menembus kerumunan orang sembari menawarkan dagangannya pada tiap orang. 

Di sisi lain kota, jauh dari hingar bingar festival, terdapat sekelompok pemuda kelurahan yang asik masyuk sendiri tidak terusik berisiknya pusat kota. Mereka merayakan malam ini dengan cara yang berbeda. Asik berjudi, sambil tenggelam dalam pengaruh minuman keras. 

Mang Gatot, pria paruh baya yang bekerja sebagai kuli paruh waktu dan tukang parkir dilain waktu. Tampaknya malam ini adalah malam yang sial baginya. Sudah 100 ribu rupiah habis tapi tak kunjung ia menang. 

Anak itu pulang menuju gubuk kecilnya dengan membawa sisa trompetnya. Tapi sial, ia bertemu sekelompok pemuda kelurahan urakan yang berkumpul dipinggir gang. Ia melihat di mulut gang itu, dibawah temaram lampu gardu dan rindangnya pohon mangga, terdapat sekelompok pemuda dan beberapa minuman keras.

Anak itu lupa bahwa di sekitar sana terdapat beberapa pemuda yang terkadang membuat ulah terlebih saat sedang mabuk. Ia hanya ingat, jalan itu merupakan jalan tercepat menuju rumah. Ia hanya menuruti lelahnya ketika akan mengambil jalan memutar. Anak itu berusaha kabur dari mereka, ia sudah merasakan bahaya didepan mata.

Celakanya, Gatot melihat anak berkeranjang rotan itu melarikan diri. Gatot yang sudah mabuk, diperparah dengan ia yang tak kunjung balik modal, mengejar anak itu dengan gusar. 

“Pasti anak itu membawa uang karena datang dari arah kota membawa keranjang dagangan.” Sekelumit pikir Gatot terlintas.

“Sial!” gerutu anak itu dalam hati.

“Hei bocah! Mau lari kemana lu?!” Bentak Gatot dengan mulut berbau campuran antara alkohol dan rokok sembari memasang tampang garang. Gatot mencengkeram lengan anak itu kuat-kuat, anak itu sudah hampir diambang batasnya menuju tangis, tapi ia masih berusaha tegar.

“Haha,” tawa menggema di lorong gang yang sepi nan kelam, menciptakan hawa yang mencekam. 

“Jangan bang, tolong. Ibuku sakit bang,” anak itu memelas.

“Bodo amat. Mau mati sekalian juga gapapa,” Gatot menyalak.

“Haha,” tawa membahana dari bawah gardu bercahayakan remang lampu petromaks itu

“Jangan bang” rintih anak itu dengan suara yang makin melirih seraya membayangkan gurat wajah tegas khas pekerja keras sang ayah yang telah membuat terompet itu sejak kemarin, hanya untuk dirampas pemuda-pemuda pembuat onar.

Tanpa pikir panjang, Gatot menggeledahnya, memeriksa saku satu persatu.

“Trompet jelek gini, Pantes gak laku!” Ucap Gatot menyolot.

Seorang pemuda lain dari perkumpulan itu menghampiri si anak sambil menghisap dalam-dalam batang rokoknya. Ia merampas dan menginjak-injak trompet-trompetnya di depan mata sayu rawan itu. Anak itu berusaha tetap tegar, tapi bak disalak anjing bertuah, air mata tumpah ruah bagai hujan di di hutan lindung.

“Udah minggat sana, Gua kepret juga lu!” Ucap Gatot mengusir.

Anak itu berlari terisak di lorong gang yang sepi, malam yang sunyi.

Dunia tak peduli, terlelap dalam mimpi.


Oleh: Hasan Aly Murtadlo

Posting Komentar

To Top