Rusia; Antagonis atau Protagonis?

 

Dunia nyata memang tak sesederhana cerita dalam satu film. Dalam film, karakter tokoh hanya terbatas pada kategori protagonis dan antagonis. Hanya terdapat kubu baik dan jahat, hitam dan putih, malaikat dan iblis. Dan setiap orang mengharapkan akhir cerita yang sangat umum, yaitu kemenangan tokoh protagonis. 

Sayangnya, stigma filmis ini tak jarang mencampuri urusan dunia nyata. Mayoritas orang memandang pihak satu sebagai pahlawan, dan pihak oposisinya sebagai penjahat. Stigma seperti inilah yang mengakibatkan tercemarnya sebuah realita. Tak terkecuali respon masyarakat terhadap konflik antara Rusia dan Ukraina baru-baru ini.

Baru-baru ini, Rusia diklaim sebagai tokoh antagonis atas dasar invasinya terhadap Ukraina. Sedangkan Ukraina difigurkan sebagai tokoh heroik dalam melawan kejahatan ini. Sehingga seluruh dunia mengutuk tindakan negara terluas di dunia ini. Bahkan sanksi demi sanksi, baik dari segi ekonomi maupun politik, kian menggerogoti Rusia. Begitu pula sebaliknya, Ukraina dipandang sebagai karakter yang perlu mendapat dukungan dan apresiasi di mata publik.

Akan tetapi, tidak adil rasanya menghakimi satu pihak hanya berdasarkan asumsi mayoritas. Hal ini perlu ditelisik lebih lanjut, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam menanggapi fenomena tersebut. Pihak manakah yang menjadi penjahat? Apakah Rusia pantas dituduh sebagai penjahat, dan Ukraina menjadi pahlawan? Atau malah sebaliknya. Tentunya jawaban dari beberapa pertanyaan ini tidak sesederhana kata iya atau tidak.

Pada 24 Februari 2022, Vladimir Putin –Presiden Rusia- mendeklarasikan perang terhadap Ukraina. Selain itu, Putin juga menempatkan pasukan bersenjata di perbatasan-perbatasan Rusia-Ukraina. Hal ini tentunya mengalihkan perhatian publik pada tindakan Putin. Terbukti dengan viralnya topik ini di berbagai media massa, baik televisi maupun media sosial. Sedangkan respon mayoritas masyarakat dalam menanggapi fenomena ini ialah mengutuk dan mengklaim Rusia sebagai biang kerok dari perpecahan dunia. Selain itu, beberapa pakar mengatakan bahwa peristiwa ini berpotensi menjadi pemicu meledaknya perang dunia ketiga.

Tentunya, deklarasi ini bukan tanpa alasan. Hal ini tidak terlepas dari perang dingin berkepanjangan antara Rusia dan negara-negara barat beserta NATO (North Atlantic Treaty Organization). Perang dingin ini merupakan imbas dari konflik antara blok barat dan blok timur puluhan tahun silam. Sebagaimana yang telah diketahui, blok barat diperankan oleh Amerika Serikat dan sekutunya –termasuk NATO-, dan Uni Soviet sebagai pemimpin blok timur yang juga mencakup kawasan Ukraina. Namun, pada 1991 Uni Soviet terpecah menjadi beberapa negara-negara berdaulat. Sehingga, Uni Soviet atau Rusia kehilangan beberapa daerah kekuasaannya, salah satunya Ukraina. Dengan merdekanya Ukraina sebagai negara berdaulat, bukan berarti pengaruh Rusia terhadap Ukraina menghilang secara total. Pro dan kontra terjadi antar warga Ukraina. Satu kubu mendukung kemerdekaan Ukraina, sedangkan kubu lainnya menolak.

Baru-baru ini, Volodymyr Zelenskyy –Presiden Ukraina- menampakkan kecenderungannya untuk menghilangkan pengaruh Rusia terhadap negaranya. Sehingga, ia menyatakan bahwa Ukraina akan bergabung dengan NATO, yang notabenenya ialah oposisi Rusia. Tentunya, hal ini disambut oleh NATO sebagai penambahan anggota aliansi dan pelebaran sayapnya di eropa timur.

Menanggapi hal ini, Rusia tidak tinggal diam. Karena dengan bergabungnya Ukraina dengan NATO, akan merugikan Rusia itu sendiri. Karena sangat memungkinkan untuk NATO membangun pangkalan militer yang berdekatan dengan Rusia. Sehingga, Putin memberikan tuntutan terhadap NATO yang harus dikabulkan. Salah satunya ialah menghentikan kegiatan NATO di negara-negara eropa timur termasuk Ukraina. Apabila tuntutan ini tidak dikabulkan, Rusia mengancam akan melakukan agresi militer besar-besaran terhadap Ukraina.

Ternyata tuntutan ini tidak begitu diperhatikan oleh pihak NATO, karena mereka berhubungan dengan negara eropa timur yang sudah merdeka dan berdaulat. Sehinnga, menurut NATO, Rusia tidak berhak melarang Ukraina maupun NATO untuk menghentikan kegiatan mereka. Dengan ditolaknya tuntutan Rusia ini, terjadilah pidato Putin yang mendeklarasikan invasi Rusia terhadap Ukraina pada 24 Februari 2022.

Dengan memahami alasan invasi ini, setidaknya cukup untuk memberi gambaran bahwa Rusia tidak bisa diklaim sebagai penjahat. Karena invasi ini merupakan bentuk pertahanan terhadap pihak oposisinya, yaitu NATO. Namun, tidak semua orang memahami hal ini, terutama orang awam yang hanya menjadi ‘korban’ media sosial. Mereka memandang Rusia sebagai negara yang agresif untuk menguasai dunia global dengan menghalalkan segala cara.

Setelah deklarasi yang menjadi pusat perhatian publik ini, seluruh dunia serentak mengutuk tindakan Putin dan Rusia terhadap Ukraina. Media massa ramai dengan topik tersebut. Dunia memandang Rusia sebagai perusak kedamaian global. Sehingga ramai kata “Stop war” atau “Stop Invasion” dalam media global yang mengatasnamakan kemanusiaan. Karena dalih ini menjadi senjata terkuat untuk menarik perhatian publik. Sehingga ini dijadikan alasan untuk menjatuhkan sanksi demi sanksi pada pihak Rusia. Namun, dalam beberapa kasus sanksi yang dijatuhkan cenderung tidak masuk akal.

Dalam dunia sepakbola misalnya, FIFA menjatuhkan sanksi dengan mendiskualifikasi Rusia dalam perhelatan piala dunia 2022 di Qatar. Tidak berhenti disitu, sanksi kejam juga diberikan kepada pemilik klub ternama Liga Primer Inggris, Chelsea dan Roman Abramovich. Dimana seluruh asetnya dibekukan oleh pemerintah Inggris atas dasar kedekatannya dengan Presiden Putin. Dalam sanksi ini, saya tidak menemukan kesalahan Abramovich kecuali menjadi warga Rusia. Dalam kondisi lain, mungkin saja ini adalah tindakan semena-mena Pemerintah Inggris. Namun, dalam kondisi ini, pembekuan aset klub milik seorang warga Rusia dinilai sebagai tindakan untuk menjaga perdamaian.

Alasan sanksi yang bertubi-tubi ini kian dipandang sebagai bentuk menjaga perdamaian dunia. Akan tetapi, yang sangat disayangkan adalah fokus pemerintah dunia yang hanya menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, bukan membantu Ukraina dalam menyelesaikan konflik. Tidak ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa negara-negara barat memberikan bantuan kepada Ukraina, baik dari segi militer maupun diplomasi. Bahkan, dalam salah satu pidatonya, Zelensky menyatakan kekecewaannya terhadap NATO dan negara-negara barat. Menurutnya, mereka membiarkan dan meninggalkan Ukraina dalam mengatasi konflik tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kepentingan lain dalam memanfaatkan momentum konflik dua negara ini, yaitu penggembosan Rusia secara perlahan. Sehingga, dalam kasus ini Rusia menjadi pihak yang dirugikan.

Walhasil, dalam menanggapi konflik Rusia-Ukraina ini, Rusia tidak bisa dijadikan kambing hitam sebagai perusak perdamaian global. Memang tindakan Rusia dalam menginvasi Ukraina hiperbolis dan tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi, alasan yang melatarbelakanginya juga tidak bisa kita kesampingkan. Dengan begitu kompleksnya masalah ini, maka Rusia tidak bisa dijustifikasi sebagai tokoh antagonis.

Oleh karena itu, Rusia patut mendapatkan pembelaan terhadap invasinya sebagai bentuk pertahanan. Selain itu, Rusia juga perlu dibela sebagai korban atas sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepadanya. Terutama warga Rusia yang tidak ada kaitannya dengan invasi tersebut, seperti kasus yang menimpa Roman Abramovich.


Oleh: Jawahir Kamal

Posting Komentar

To Top