Terompet Sunyi
Penulis: Hasan Aly Murtadlo
Bocah itu berlari terisak di lorong yang sepi, malam yang sunyi.
“Ah, Bajingan!”
Warga kota tengah menanti datangnya hari festival raya. Mereka sangat antusias menyambut festival, terlihat sebagian dari mereka menghias rumah dan mempercantik halaman. Jalanan mulai ramai terlihat animo masyarakat sangatlah besar karena ini bukanlah sembarang festival, ini festival raya! Semua sudah menanti festival ini sepanjang tahun. Mulai dari anak-anak hingga orang tua semua terpikat dalam hegemoni riuh.
Pak walikota menyerukan antusiasme lewat baliho, spanduk hingga iklan di radio. Semua isinya sama, “Selamat Hari Festival Raya”, pengalihan isu bahwa ia tak memiliki prestasi dalam memimpin. Memasang wajah manis dengan senyum simpul standar pegawai negara di seluruh baliho di sudut-sudut kota, tak peduli ada warganya merintih merana.
Keluarga kecil itu hidup sederhana, teramat sederhana bahkan untuk menyebutnya sederhana. Sang bapak berjualan sandal keliling dihari biasa, namun ia kini berjualan terompet. Maklum, suasana begitu pekat dengan hari festival raya. Si anak yang biasanya masuk sekolah pun turut membantu bapaknya berjualan terompet. Mumpung hari libur panjang dan untuk membantu menyumbang uang pokok sekolahnya demi meringankan beban sang bapak. Ibu tak bisa turut membantu, beliau telah sakit selama seminggu dan tak kunjung membaik.
Malam festival raya pun tiba, semua warga kota turun ke jalan turut menyemarakkan hari festival raya. Euforianya begitu terasa menyesakkan dada. Kota yang biasanya penuh sesak oleh kendaraan sekarang berganti dengan kerumunan manusia di jalan. Para pedagang menjajakan makanan ringan, minuman dingin, dan aneka jajanan. Banyak pasangan muda-mudi bercengkrama malam ini. Segalanya terasa menyenangkan hati.
Malam ini dengan segala kemeriahannya adalah pundi uang yang menggiurkan, yaah hitung-hitung menambah uang jajan. Anak itupun menjajakan terompetnya keliling alun-alun barangkali ada pasangan yang tertarik membeli terompet kepala naga miliknya.
Teeeet
“Terompetnya mas”
“Terompetnya mbak”
Beberapa kali ia mengitari alun-alun kota, cukup melelahkan memang. Terlihat di sisi alun-alun layar besar yang menampilkan gambar panggung utama. Penampilan utama memang belum dimulai dan festival belum mencapai klimaks tapi pusat kota seakan tak memiliki ruang lagi bahkan untuk sepeda. Dan ia masih belum menghabiskan dagangannya.
“ Semoga nanti bisa habis”, batinnya.
Tengah malam pun tiba, waktu menunjukkan pukul 00.00 waktu setempat. Terompet bersahutan memekakkan telinga, para warga bersorak ria. Naiklah ke atas panggung seorang musisi Nasional yang menjadi inti penampilan tanda acara tak lama akan usai.
Namun, anak itu tak jua menghabiskan terompetnya, hanya berkurang sedikit malah. Hingga akhir acara dagangannya masih tersisa. Ia pun pulang, yaah walaupun dengan uang yang tak seberapa.
Ketika ia menuju rumah dengan membawa sisa terompetnya, tanpa dinyana ia bertemu sekelompok pemuda urakan yang berkumpul dipinggir gang gelap. Seharusnya anak itu tahu bahwa disekitar situ terkadang terdapat beberapa pemuda yang suka berkumpul membuat ulah. Tapi itu adalah jalan tercepat menuju rumah. Ia juga tak mau kalau harus mengambil jalan memutar karena sudah terlampau lelah.
Dan yang ia takutkan pun terjadi.
“Sial!”, rutuk anak itu dalam hati.
“Hei Bocah!! Habis jualan nih, boleh dong duitnya”, kata seorang yang bertampang sangar.
Hahaha
“Jangan bang, ini buat bayar SPP”, katanya memelas.
“Halah!! Gak Penting!! Gak sekolah juga gakpapa. Ikut gue aja ngamen”
Hahaha
“Jangan bang plis”
Tanpa babibu pemuda yang mengejarnya tadi menggeledahnya memeriksa dari ujung ke ujung.
“Terompet apa ini? Jelek amat!!”
Hahaha
Seorang yang bertampang sangar itu mengambil dan menginjak-injak terompet-terompetnya di depan matanya. Anak itu berusaha tetap tegar, namun tampak bahwa ia menahan tangis.
“Udah minggat sana!! Ngapain lo disini!! Hush!!”
Anak itu berlari terisak di lorong gang yang sepi, malam yang sunyi.
Duniapun tak peduli dan tetap terlelap dalam mimpi.
Posting Komentar