Al-Bayan Syekh Ali Jum'ah Jilid II
Ringkasan Kajian Al-Bayân Jilid II
Kamis, 10 Oktober 2019
Soal ke-11: Apa itu Taqlid? Apakah Taqlid merupakan perkara tercela? Apa
hakikat Taqlid? Bagaimana menjawab tuduhan-tuduhan dari orang yang menuduh
bahwa Muqallid itu meninggalkan al-Quran dan as-Sunnah demi
mengikuti seseorang?
Taqlid secara bahasa
berarti kalung yang digunakan untuk mengikat leher baik manusia maupun hewan
ternak seperti kuda atau sapi untuk sesembelihan. Sedangkan secara istilah,
menurut pakar ushul fiqh makna Taqlid memiliki dua versi: 1.
Bertaqlid atau mengikuti pandangan orang lain yang buta dengan hujjah dan dalil syar’i;
2. Bertaqlid atau mengikuti pandangan imam Mujtahid meskipun tidak
mengetahui dalil yang sang imam gunakan secara sempurna. Adapun pendapat kedua
ini lebih masyhur di kalangan pakar ilmu.
Mukallaf dalam Islam ada
dua macam: Pertama, Orang yang mampu mengambil hukum dari al-Quran
dan as-Sunnah dengan cara ijtihad yang sering disebut Mujtahid. Kedua,
sebaliknya, orang yang tidak mampu untuk berijtihad disebut Muqallid.
Keduanya sama-sama dibebani syariat Islam, tapi cara pengambilan hukumnya yang
berbeda. Muqallid itu wajib mengikuti hasil ijtihad
dari Mujtahid karena dia tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad
sendiri. Agar tidak ada penyesatan umat dengan dalil syar’i tanpa
sanad keilmuan yang kuat. Begitu juga bagi para Mujtahid, wajib hukumnya
untuk berijtihad atau berpendapat untuk menetapkan hukum Islam. Sebagaimana
firman Allah SWT: “Bertanyalah kamu kepada ahli dzikir (Ulama) jika kalian
tidak tahu.”
Diceritakan dalam
kitab al-Bayan bahwasanya para Sahabat dan Tabiin ketika
terjadi hal yang belum mereka ketahui hukumnya, mereka bergegas menuju sahabat
yang lain untuk bertanya tentang hukum hal tersebut. Mereka bermusyawarah
hingga dapat menjawab hukum tersebut dan tidak menyuruh untuk berijtihad
sendiri. Hal inilah yang menjadi dalil bahwa orang yang tidak mampu berijtihad
dan tidak tahu metode pencarian hukum, alangkah baiknya bertanya kepada yang
mampu untuk berijtihad.
Setelah bersepakat
atas hal di atas, ulama berbeda pendapat mengenai hukum Taqlid pada satu mazhab
tertentu dalam setiap perkara. Pendapat pertama, diperkuat dengan pernyataan
Imam Jalaluddin al-Mahally di syarh kitab Jam’ul
Jawâmi’ bahwasanya bertaqlid atau mengikuti satu mazhab tertentu itu
wajib.
Pendapat kedua,
sebaliknya, Syekh Nawawi berpendapat bahwa para Muqallid boleh
mengikuti mazhab seperti yang ia mau, dan pendapat ini lebih kuat dan masyhur.
Salah satu tuduhan
pada orang yang bertaqlid ialah dalil yang diwajibkan syariat
untuk kita ikuti al-Quran dan as-Sunnah bukan pendapat para imam. Kemudian
Syekh Ali Jum'ah menjawab bahwa dalil itu bukan hanya al-Quran
dan as-Sunnah saja tetapi juga Ijma', Qiyas, pendapat sahabat, syariat
terdahulu, tradisi dan adat, dll.
Al-Quran dan
as-Sunnah ialah nash yang menjadi rujukan hukum syariat begitu
juga pendapat ulama Mujtahid, pendapat mereka memang bukan bagian
dari nash tetapi pendapat mereka tidak terlepas dari nash tersebut.
Mereka menjadi perantara kita untuk memahami al-Quran dan as-Sunnah.
Pertanyaan: "Apakah
kita diperbolehkan untuk mencampur adukkan mazhab dalam beramal?" Jawab, “Sebenarnya
ulama berbeda pendapat dalam hal Talfiq atau mencampur adukkan
mazhab dalam beramal. Pendapat-pendapat tersebut adalah: 1)Tidak memperbolehkan
sikap plin-plan. 2)Memperbolehkan meski dengan niat mencari yang gampang,
karena Nabi berpesan untuk memudahkan dalam hal beribadah. 3)Ulama yang di
tengah-tengah bersikap, harus dilihat dulu dalam kasus apa dan apakah para imam
yang dicomot tidak saling membatalkan.
Posting Komentar