Al-Bayan Syekh Ali Jum'ah Jilid II
Ringkasan
Kajian Al-Bayân Jilid II
Kamis,
24 Oktober 2019
Soal ke-12: Bolehkah fatwa keluar dari orang yang
bukan ahlinya? Dan apa syarat, adab, dan kewajiban bagi seorang mufti?
Berfatwa merupakan kedudukan yang agung dan perkara yang mulia, sebagaimana
Allah SWT telah menjelaskan di dalam kitab-Nya, bahwasanya fatwa adalah
menjelaskan kalam Allah SWT yang menjadi dasar hukum syariat secara utuh. Dan
mufti adalah pengganti Nabi SAW dalam menerangkan sebuah hukum Allah SWT dan
mufti merupakan orang mulia yang bertanggung jawab memelihara syariat Islam
serta sebagai ahli ilmu setelah para Nabi. Seorang mufti menjelaskan
hukum-hukum Allah dan menyelaraskannya dengan ruang lingkup masyarakat sekitar.
Berfatwa adalah hal yang berisiko, karena jika dilandasi niat yang buruk maka
akan berbuah ria dan sombong antar manusia. Namun, jika dilandasi niat yang
baik maka akan menghasilkan pahala dan faidah.
Fatwa secara bahasa adalah Isim Masdar dari al-Ifta yang
maksudnya menjelaskan suatu masalah yang masih samar dengan hukum syariat,
jamak dari lafaz al-Ifta ada dua yaitu al-Fatawa yang mengikuti wazan
فعل dan lafadz al-Fatawi yang mengikuti
wazan فعلي. Dan ada juga lafaz الفتيا merupakan lafaz Syadz yang merupakan isim mufrod dan
memiliki jamak yang sama dengan lafaz الفتوى.
Adapun "al-Istifta'" secara bahasa adalah meminta jawaban terhadap
sesuatu perkara yang dipermasalahkan atau memberikan suatu pertanyaan. Adapun
fatwa secara istilah yaitu menjelaskan tentang hukum syariat berdasarkan dalil
al-Quran dan as-Sunnah kepada orang yang bertanya tentangnya.
Adapun makna al-Faqih yaitu menjelaskan hukum Allah SWT
tanpa meninjau dari segi fakta kejadiannya. Lalu makna mufti yaitu mempelajari
suatu fakta kejadian di sekitar dan menghubungkan dengan hukum syariat untuk
menghasilkan sebuah natijah yang disebut fatwa. Sedangkan al- Qodi
yaitu orang yang menentukan dan menjatuhkan sebuah hukum permasalahan pada seseorang yang mana fatwanya harus
diikuti, tetapi ranah fatwanya tidak mencakup hukum ibadah dan al-Qodi tidak
bisa memberi fatwa yang berhubungan dengan permasalahan ibadah.
Mufti secara bahasa merupakan bentuk shigot isim fa’il
dari fi'il tsulatsi mazid "Afta-Yufti-Ifta'"
yang secara etimologi adalah orang yang berfatwa meskipun hanya sekali itu
sudah bisa disebut sebagai mufti. Adapun mufti secara istilah adalah orang yang
menyampaikan perihal hukum syariat, memahami al-Quran dan as-Sunnah dengan baik
secara umum maupun khusus, memahami nasakh-mansukh dan mengenali Sunnah
serta tata cara istinbat atau menggali hukum, serta mengetahui hukum yang
disepakati dan sikap mereka dalam menyikapi perbedaan pendapat.
Untuk menetapkan hukum Islam, seorang mufti harus memenuhi
persyaratan yang ditetapkan ulama. Secara khusus syarat yang harus dimiliki
oleh seorang mufti ialah:
1.
Mengetahui
tentang hukum pokok syariat seperti: al-Qur'an, as-Sunnah, ijma' dan qiyas.
2.
Tidak
hanya mengetahui, tapi juga ‘Alim dalam dalil hukum.
3.
Menguasai
ayat al-Qur'an yang nasikh (ayat yang menghapus) dan ayat al-Qur'an yang
mansukh (ayat yang dihapus), hadis, nahwu, lughah dan shorof.
4.
Memiliki
keahlian dan berpengalaman dalam memecahkan suatu permasalahan.
5.
Mengetahui
ilmu-ilmu agama secara menyeluruh, seperti Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih,
Ilmu Kalam, Ilmu Nahwu, Balaghah dan ilmu lain yang menunjang
dalam menetapkan fatwa.
Adapun
orang-orang yang memiliki sifat-sifat di atas dinamakan sebagai Mufti Mutlaq
Mustaqil.
Ø Mufti terbagi menjadi dua:
1.
Mufti
Mustaqil ialah seseorang yang memiliki kemampuan istinbat atau menggali
hukum sendiri dari sumbernya, yakni al-Qur'an dan as-Sunnah untuk difatwakan,
dengan syarat yang telah disebutkan diatas.
2.
Mufti
Ghoiru Mustaqil ialah seseorang yang memiliki kemampuan istinbat atau
menggali hukum untuk difatwakan, akan tetapi ketentuan dan tata caranya
disandarkan pada imam mazhabnya. Mufti Ghoiru Mustaqil ini disebut pula
dengan mufti Muntasib dengan syarat:
a.
Tidak
mengikuti (Taqlid) terhadap apa yang menjadi pendapat imam mazhabnya (Mufti
Mustaqil) dalam analisa dalilnya, akan tetapi tata cara dan ketentuan
berijtihadnya disandarkan pada imam mazhabnya.
b.
Memahami
Fiqih dan Ushul Fiqih mazhabnya beserta dalilnya secara
terperinci.
Selain Syarat yang telah disebutkan di atas terdapat juga syarat
salbiyah. Syarat salbiyah merupakan syarat-syarat yang tidak wajib dimiliki
oleh seorang mufti ialah:
1.
Seorang
mufti tidaklah harus laki-laki, bahkan fatwanya perempuan pun boleh atau sah
2.
Seorang
mufti tidaklah harus orang yang merdeka, bahkan fatwanya budak pun boleh atau
sah
3.
Tidak
harus mengucapkan fatwanya secara langsung, seorang mufti bisa berfatwa melalui
tulisan, yang terpenting ialah bisa memahamkan kepada yang meminta fatwa
tersebut
4.
Seorang
mufti tidaklah harus bisa melihat, bahkan fatwa orang buta pun boleh
5.
Seorang
mufti tidaklah harus bisa mendengar, akan tetapi ada sebagian dari pengikut
Imam Abu Hanifah yang tidak menyetujuinya
Adapun syarat-syarat yang wajib dimiliki oleh seorang mufti ialah:
1.
Islam
2.
Berakal
3.
Baligh
4.
Berilmu
karena berfatwa tanpa ilmu haram
5.
Seorang
spesialis atau ahli dalam bidangnya
6.
Adil.
Adil yang dimaksud disini yaitu agar terhindar dari sifat-sifat fasik serta
bisa menjaga muruah (martabat diri)
7.
Memiliki
kemampuan untuk berijtihad
8.
Memiliki
pemikiran yang kreatif
9.
Cerdas
dan terjaga, yakni ketika seorang mufti berfatwa, fatwanya itulah yang harus
mampu menjaga orang yang bertanya dari suatu kelalaian dan kecerobohan
Adapun adab-adab yang harus dimiliki oleh seorang mufti ialah:
1.
Mufti
memberikan fatwa dengan niat semata-mata mencari keridaan Allah SWT bukan untuk
sesuatu kepentingan seperti untuk mencari pangkat, kedudukan, kekuasaan, dan
sebagainya. Dengan adanya niat yang seperti itu, maka Allah SWT akan memberinya
petunjuk dalam melaksanakan tugasnya itu dan jika seorang mufti tidak mengawali
fatwanya dengan niat yang baik maka fatwa-fatwa yang diucapkannya akanlah
"dzholam"
2.
Hendaklah
seorang mufti itu berilmu dan memiliki rasa sabar
3.
Seorang
mufti haruslah kuat dalam menguasai setiap permasalahan-permasalahan yang ia
hadapi saat menjadi mufti, yakni mufti tidak boleh sembarangan ketika berfatwa,
wajib mengetahui hukum syariat (tidak boleh keluar dari al-Qur'an dan
as-Sunnah)
4.
Ketika
ada seseorang yang bertanya, haruslah mufti itu menyelesaikan fatwanya dengan
membuat orang yang bertanya tadi paham dan menjadi mudah untuk mengerjakannya
5.
Seorang
mufti ketika berfatwa haruslah tidak memberatkan manusia, sehingga semuanya
bisa mengerjakannya, bisa membuka tabir permasalahan tersebut, bisa menggiring
manusia untuk mengikuti fatwanyam dan bisa menjauhkan mereka dari kefasikan
PENUTUP
Setelah menguraikan pengertian fatwa, mufti, ifta' dan
istifta', serta syarat dan pembagiannya masing-masing, bisa disimpulkan
bahwa peranan fatwa sangat pokok dan strategis serta memiliki peranan luhur
sebagai solusi bagi orang awam yang sangat membutuhkan kejelasan suatu hukum
yang mengacu pada dirinya dan tidak punya otoritas dalam menggali hukum itu
sendiri terutama di dalam memecahkan dan menjawab seluruh persoalan
sosial-keagamaan dan kebangsaan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Jawaban yang diberikan oleh mufti adalah fatwa yang dikeluarkan melalui
penetapan fatwa berdasarkan sumber hukum Islam yaitu al-Quran, as-Sunnah, Ijma'
dan Qiyas.
Posting Komentar