Resensi Buku Sang Maha Guru Kami, Sayyiduna



Sang Maha Guru Kami, Sayyiduna
Judul: Sayyiduna
Pengarang: Syekh Musthofa Ridho al-Azhari
Penerbit: Darul Rafi’i Kairo, Mesir
Tebal buku: 201 halaman
Tahun terbit: 2017 (cetakan pertama)


Pada rubrik resensi kali ini akan mengulas tentang sebuah karya yang tak asing lagi di telinga Masisir yakni Sayyiduna.  Novel berbahasa Arab karangan syekh lulusan Universitas al-Azhar ini berisi tentang pandangan-pandangan ulama al-Azhar sebagai kiblat keilmuan Islam di dunia melawan kelompok atau aliran yang selama ini bertentangan dengan konsep-konsep ajaran Islam yang ditawarkan oleh al-Azhar. Dibungkus dengan bentuk novel dan juga menggunakan bahasa yang informatif serta mudah dipahami, novel ini cocok untuk membantah ajaran yang bertentangan dengan al-Azhar sebagai institusi yang beraliran Islam sunni. Dan pada perkembangannya, novel ini juga disebut sebagai lanjutan dari kitab karangan penulis yang berjudul at-Thuruq al-Manhajiyyah tetapi menggunakan bentuk novel sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya.

Dalam bukunya yang berjudul at-Thuruq al-Manhajiyyah, pengarang lebih menekankan pada metodologi-metodologi  seorang pencari ilmu dalam mencari ilmu, seperti penguatan niat dalam mencari ilmu, mengetahui komponen-komponen yang dibutuhkan untuk mencari ilmu, hingga beberapa kitab dalam berbagai bidang keilmuan yang disarankan dan disertai dengan tingkatan yang dapat disesuaikan dengan kemampuan si pencari ilmu. Pada buku yang terbit setahun setelah penerbitan kitab at-Thuruq al-Manhajiyyah ini, Syekh Musthofa Ridho al-Azhari memasukkan beberapa hal dari buku sebelumnya tetapi diselingi dengan beberapa percakapan antar tokoh sehingga tidak muncul kesan menggurui dari pengarang.

Cerita bermula ketika pembukaan tahun ajaran baru di Universitas al-Azhar, Tujuh pemuda dari latar belakang yang berbeda-beda ingin meneruskan pengembaraan pencarian ilmu agama dengan melanjutkan pendidikannya di universitas tertua di dunia tersebut. Hingga kemudian mereka ditakdirkan untuk tinggal bersama dalam satu rumah yang tak jauh dari Universitas al-Azhar, tempat mereka menimba ilmu nantinya. Di tempat inilah dimulai perjalanan pemahaman mereka terhadap kalam ulama al-Azhar. Dari 7 pemuda tersebut, ada yang muncul dari golongan sufi, salafi, Islam liberal, sekuler, ekstremis hingga kelompok terlarang di Mesir yang didirikan oleh Hasan al-Banna, Ikhwanul Muslimin. Tetapi berkat seorang pemuda dengan pemahaman moderat ala al-Azhar yang bernama Yunus, semua bantahan serta tuduhan dari kelompok-kelompok tersebut dapat dipatahkan dengan pemaparan dalil al-Qur’an dan al-Hadis serta pemahaman epistimologi maupun historis dari kedua pedoman hidup seluruh umat Islam di dunia tersebut.

Permasalahan dimulai saat Hudzaifah yang berlatar belakang salafi menolak ajakan makan bersama dari anggota rumah dan menyebut mereka dengan golongan ahli bid’ah yang keluar dari ajaran Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadis beliau. Hal ini lantas membuat Yunus mengeluarkan pemahaman sempurna mengenai hadis yang disebut oleh Hudzaifah dan membuatnya tak berkutik. Mengetahui pemahaman super dari seorang Yunus sontak membuat heboh seisi rumah dan ketika ditanya perihal dimana Yunus mempelajari pemahaman seperti itu, pemuda desa ini menjawab bahwa ia belajar dari guru yang ia sebut dengan nama Sayyiduna.

Kejadian tersebut membuat Hazim, pemuda dengan latar belakang sekuler dan hidup kebarat-baratan ingin menguji kemampuan Yunus lebih dalam lagi. Hazim menyinggung persoalan mengenai posisi wanita dalam ajaran Islam yang pada kali ini disebut merendahkan martabat wanita. Yunus pun menerangkan bantahan hal tersebut pada suatu forum disertai dengan dalil al-Quran serta kesempurnaan pemahaman dalam memahami hadis Rasul dan memperingatkan Hazim agar senantiasa mempelajari ajaran agama Islam secara utuh dan tidak setengah-setengah dalam mengambil dalil baik dari al-Qur’an dan al-Hadis maupun dari ucapan ulama di dalam kitab-kitab turost dan kontemporer. Saat ditanya dimana ia belajar, lagi-lagi ia menjawab dengan jawaban yang sama yakni Sayyiduna.

Kejadian pun berlanjut seiring berjalannya waktu dari awal pertemuan mereka, Yunus yang kala itu sedang naik bus dan hendak pulang bersama tiga temannya yang bernama Hazim, Robi’, dan Haisam bertemu dengan gerombolan pendemo yang sedang menjalankan aksinya didepan gedung kampus seraya meneriakkan tuntutan-tuntutan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah dan mempraktekkan hukum hudud di negara Mesir. Demo pun usai saat terbenamnya matahari di ufuk barat, Yunus pun menjelaskan mengapa al-Azhar dan kebanyakan ulama yang beraliran sunni menolak pendirian negara khilafah dan lebih  menyetujui dengan konsep negara bangsa (nation state) yang banyak digunakan di negara-negara di dunia. Dan di akhir penjelasannya ia menambahkan bahwa ia mengutip penjelasan dari sang guru Sayyiduna.

Dari tokoh seorang Yunus inilah watak seorang Azhari sejati muncul, yang senantiasa menerangi umat menuju jalan Allah yang benar dan tidak menimbulkan pertikaian-pertikaian di bumi-Nya. Dengan menggunakan jawaban-jawaban logis dan tetap bersandar pada dalil al-Qur’an dan al-Hadis inilah yang dibutuhkan melawan pandangan-pandangan ngawur yang banyak beredar di khalayak umum dewasa ini. Salah satunya adalah yang sudah disinggung sebelumnya, mengenai pembidahan dan pengafiran dari golongan takfiri, posisi wanita dalam ajaran Islam, dan pendirian negara khilafah dan implementasi hukum hudud pada zaman kini oleh kaum radikal.

Syekh Musthofa Ridho al-Azhari


Dalam novel ini, pembaca serasa dibawa langsung pada latar tempat yang berada di Mesir yakni dengan menyisipkan kata-kata yang menggunakan bahasa ammiyah Mesir dalam percakapan sehari-hari. Banyak hikmah-hikmah yang dapat diambil dari novel ini, baik tersirat maupun tersurat. Salah satunya melalui kalam-kalam para ulama yang banyak dikutip oleh sang tokoh utama Yunus dalam perkataannya terlebih lagi dapat digunakan untuk membantah  pandangan-pandangan yang menyimpang. Kemudian muncul pertanyaan siapakah tokoh Sayyiduna yang dimaksud Yunus?. Sosok yang digambarkan bagaikan lautan ilmu yang tak bertepi. Sang guru dari Yunus yang memiliki pemahaman-pemahaman sempurna. Jawabannya tentu terdapat pada novel karangan intelektual muda Azhari ini. Selamat membaca.


Oleh: Mohammad Isa Muslim




1 Komentar

  1. adakah terjemahannya?
    saya Hermansyah Pratama, mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Arab UIN Jakarta, punya niat untuk menjadikan novel ini sebagai bahan penelitian untuk skripsi..

    BalasHapus
To Top