Sejarah Singkat Al-Azhar Kita
0
Komentar

Berbicara tentang Mesir tidak bisa terlepas dari al-Azhar, sebuah benteng keilmuan Islam tempat para "santri" dari berbagai penjuru dunia menuntut ilmu. Karena tingginya kedudukan al-Azhar dimata umat Islam, tidak mengherankan kalau orang menyebutnya dengan Ka'batul 'Ilmi. Sejarah telah mencatat betapa besar peran al-Azhar dalam menjaga kemurnian ilmu-ilmu Islam, bahkan tidak terbatas perannya dalam bidang keilmuan saja, namun memasuki lini-lini kehidupan lainnya, seperti dimensi sosial dan politik. Terbukti ketika para imperialis menginjakkan kakinya di Mesir dan belahan dunia Islam lainnya, para ulama al-Azhar berada digaris depan dalam mengobarkan semangat umat Islam untuk berjihad melawan arogansi kaum kolonialis. Bahkan, Masjid al-Azhar menjadi markas penggemblengan para mujahidin saat itu.
Universitas al-Azhar didirikan bersamaan dengan berkuasanya Dinasti Fathimiyyah di Kairo, atau tepatnya setelah beberapa bulan kekuatan dinasti ini memasuki Kairo. Pembangunan Universitas al-Azhar memakan waktu kurang lebih dua tahun, yang kemudian dibuka secara resmi oleh Jauhar al-Shiqili (seorang panglima perang Daulah Fathimiyyah) dengan menunaikan Sholat Jumat pada tanggal 7 Ramadan 361 H/21 Juni 972 M. Sedang al-Mu'iz Lidinillah baru datang dari Maroko dan masuk ke Kairo setahun kemudian dari tanggal dibukanya Universitas al-Azhar secara resmi.
Sebagaimana tradisi yang ada, ketika suatu kota dibuka, didirikanlah disitu sebuah universitas yang namanya pun dinisbahkan kepada nama kota tersebut, demikian halnya al-Azhar. Nama universitas ini semula adalah Universitas al-Qahirah. Konon, ketika Jauhar al-Shiqili datang, dia menamakan kota yang diduduki sebagai al-Manshuriyyah. Kemudian saat al-Mu'iz Lidinillah datang pada tahun 362 H, diubahnya namanya menjadi al-Qahirah. Namun ada riwayat lain mengatakan bahwa yang menamakan al-Qahirah adalah Jauhar al-Shiqili. Terlepas dari siapa yang memberi nama al-Qahirah, Universitas al-Azhar dikenal dengan nama Universitas al-Qahirah pada awal-awal kekuasaan Fathimiyyin di Mesir. Dan ketika banyak universitas lain yang dibangun, maka dipilihlah nama Universitas al-Azhar yang kita kenal sampai sekarang.
Universitas al-Azhar mempunyai penghargaan tersendiri dari para Khalifah Fathimiyyah. Dibalik itu, mereka ingin menjadikannya markas penyebaran paham Syiah. Maka pada suatu saat, Abu al-Faraj Ya'qub Ibn Kals (Menteri Mu'iz Lidinillah yang kemudian menjadi Menteri al-'Aziz), mengusulkan kepada al-'Aziz untuk mengumpulkan para fuqaha' dan menggajinya, supaya mengadakan halaqoh di Masjid al-Azhar. Akhirnya, al-'Aziz mengabulkan usulan tersebut dan memilih tiga puluh fuqaha' untuk mengajar di Masjid al-Azhar serta membangunkan rumah bagi mereka di sekitar al-Azhar. Dari sinilah dimulai pengajaran di Universitas al-Azhar.
Dalam belantika dunia keilmuan, al-Azhar merupakan universitas tertua, tidak hanya di dunia Islam, namun juga di seluruh dunia. Hal itu karena universitas-universitas di Amerika dan Eropa baru didirikan dua abad setelah berdirinya al-Azhar, seperti Universitas Paris didirikan pada abad ke-12 M, Universitas Oxford di Inggris pada abad ke-13 M, demikian juga universitas-universitas Eropa lainnya. Universitas yang mengimbangi al-Azhar dari segi sejarahnya adalah Universitas Qairawan (Qarawiyyin) di kota Fes, Maroko. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Universitas Qairawan adalah universitas tertua di dunia, karena pengajarannya sudah bermula sejak didirikannya, yaitu sejak tahun 245 H/ 859 M., dan sampai sekarang masih eksis. Ketika Maroko merdeka tahun 1956 M. Universitas Qairawan ditetapkan menjadi universitas yang terdiri dari tiga fakultas; Fakultas Sastra, Syariat, dan Ilmu Pengetahuan Umum. Kalaupun Universitas Qairawan adalah universitas tertua di dunia, tapi al-Azhar merupakan universitas pertama yang para pengajarnya di danai oleh negara. Di samping letak Mesir yang strategis di tengah dunia Islam, menjadikan al-Azhar tempat tujuan menimba ilmu agama dari para Masyayikh-nya. Hanya saja, besarnya kedudukan al-Azhar bukan karena tertua atau tidaknya, tapi lebih karena besar peran yang dijalankan dalam menjaga kemurnian ilmu-ilmu agama, peradaban Islam, dan bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW., seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Kamal al-Sayyid Muhammad dalam bukunya al-Azhar Jami'an wa Jami'atan Aw Al-Azhar fi Alfi 'Am.
Posting Komentar