Polemik Peran Perempuan di Ruang Publik
Seiring berkembangnya zaman, kultur patriarki dan diskriminasi gender yang lekat dalam masyarakat Indonesia menyebabkan peran perempuan di ruang publik menjadi polemik. Budaya ini seakan mendefiniskan peran perempuan sebagai manusia pekerja domestik (Homemaker). Melalui penelitian Global Gender Gap Report (GGGP) tahun 2021, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan, bahwa Indonesia menempati urutan ke 115 dari 156 negara dalam rasio tingkat partisipasi perempuan di bidang ekonomi. Di sisi lain, Indonesia juga menempati urutan ke 92 dari 156 negara dalam rasio tingkat partisipasi perempuan di bidang politik. Dari data tersebut, dapat kita ketahui bahwa pemberdayaan perempuan di dua lingkup tersebut masih rendah.
Selain itu, agama Islam kerap kali dituding menjadi salah satu
faktor penurunan angka tersebut. Jika ditelisik lebih dalam, ada beberapa
faktor yang memengaruhi tuduhan tersebut. Faktor yang mendasar adalah
misinterpretasi hukum-hukum Islam melalui perspektif fikih klasik, sehingga
yurisprudensi Islam dianggap bias gender dan mempersempit hak-hak perempuan
untuk bisa berperan di ruang publik. Salah satu bentuk misinterpretasi
masyarakat terhadap nas syariat adalah penafsiran ayat “al-Rijâl Qawwâmûna ‘ala
al-Nisâ’”. Mereka mengklaim bahwa pemaknaannya adalah laki-laki lebih
berkuasa dan lebih tinggi derajatnya dari perempuan.
Faktanya, Islam adalah agama yang universal. Islam dan hukum-hukum
syariat yang ada di dalamnya tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam
haknya sebagai seorang manusia. Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki
memiliki hak yang sama, tercipta dari unsur yang sama, sehingga tidak ada
ketimpangan antara keduanya. Hal demikian tercantum dalam surah Fatir ayat 11.
Muhyi al-Din bin al-Arabi juga mengatakan, “Jika memandang sebagai sesama
manusia, maka laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sama. Tidak ada
ketimpangan derajat dan hukum taklif yang berlaku antara keduanya.”
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda : “Perempuan setara dengan
laki-laki, dan mereka memiliki hak yang sama”. Penjelasan hadis tersebut
ditegaskan oleh Zayn al-Din al-Manawi, ia menegaskan bahwa segala sesuatu yang
boleh dicapai dan dimiliki oleh laki-laki, juga dibolehkan untuk perempuan. Ia
boleh memiliki kedudukan, pangkat, dan jabatan kecuali dalam beberapa hal yang
memang diatur oleh agama hanya untuk laki-laki. Misalnya, hak dalam
permasalahan talak. Selain pengecualian tersebut, laki-laki dan perempuan
memiliki hak yang sama.
Dalam membahas isu-isu mengenai perempuan seperti fenomena di atas,
Grand Syeikh al-Azhar, Dr. Ahmad al-Tayeb mengeluarkan 14 fatwa yang dikutip
dalam majalah Shout al-Azhar edisi 16 November 2022. Salah satu fatwa tersebut
menyatakan bahwa seorang perempuan berhak untuk berperan di segala bidang
sesuai dengan kemampuannya. Bahkan, beliau mengatakan bahwa perempuan juga bisa
menjadi pemimpin sebuah negara, menjadi seorang hakim, dan posisi-posisi
strategis lainnya sesuai dengan kemampuan mereka.
Pembelaannya terhadap kaum perempuan didasari atas naluri
kemanusiaan yang melekat dalam dirinya. Adanya pernyataan ini, bukan berarti beliau memihak terhadap perempuan secara
penuh, tetapi sebagai bentuk upaya untuk memerjuangkan hak perempuan secara
syariat yang cenderung dikesampingkan di Timur. Maka tak heran, jika beliau
memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk menempati posisi strategis di
kelembagaan al-Azhar. Misalnya, Dr. Nahlah al-Saeedi yang diangkat sebagai Penasihat
Bidang Mahasiswa Luar Negeri, dan mengangkat Dr. Ilham Syaheen sebagai Asisten
Jenderal Majma’ Buhuts al-Islamiyyah, Bagian Pengembangan Dai Perempuan. Hal
tersebut menjadi bukti nyata pembelaan beliau terhadap isu-isu perempuan,
utamanya peran mereka di ruang publik.
Dr. Ahmad al-Tayyeb dalam fatwanya juga menyebutkan salah satu
sosok perempuan yang menjadi pemimpin suatu negara, yaitu Halimah Ya’qob,
presiden negara Singapura periode 2017-2023. Ia merupakan presiden perempuan
pertama di Singapura. Sebelum ia menjabat, banyak pihak yang kontra dengannya.
Akan tetapi, ia berhasil membuktikan bahwa dirinya dapat menjadi sosok presiden
yang baik. Halimah dikenal menjadi sosok presiden yang tak gentar memberantas
korupsi dan ekstrimisme atas nama agama.
Dalam al-Quran, Allah juga menyebutkan kisah sosok perempuan yang
memimpin sebuah kerajaan. Namanya sudah tak asing di telinga kita, ia adalah
Ratu Balqis, istri Nabi Sulaiman. Ratu Balqis merupakan sosok perempuan yang memimpin
dan menguasai kerajaan besar. Dalam kepemimpinannya, ia dikenal sebagai Ratu
yang mengutamakan asas demokrasi. Ia selalu bertindak adil dan berkenan untuk
mendengarkan suara-suara rakyatnya. Ia juga dinilai berhasil dalam memimpin kerajaan
dan mampu membawanya menuju masa kejayaan. Adanya fenomena ini, membuktikan
bahwa peran perempuan dalam ruang publik bukan sebuah hal yang tabu. Jadi,
sebenarnya, persoalan tersebut telah ditepis sejak zaman dahulu.
Dalam Islam, perempuan dipandang sebagai mahkluk yang memiliki sifat
‘Athifah. Sifat tersebut menjadikan perempuan dikenal sebagai pribadi
yang penuh kasih sayang. Dengan adanya sifat tadi, perempuan dapat lebih peka
dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya ketimbang laki-laki. Tidak salah jika kemudian perempuan mampu
mengedepankan kepentingan dan mendengarkan masukan orang lain serta menurunkan
egonya demi kepentingan bersama. Hal tersebut lantas menjadikan perempuan layak
menempati posisi-posisi strategis di ruang publik, sehingga hak-hak mereka
tidak terbatas dalam ruang domestik saja.
Dapat dipahami, bahwa Islam menempatkan perempuan dan laki-laki pada
posisi yang setara dalam haknya sebagai seorang manusia. Selagi perempuan
tersebut memiliki kredibilitas, ia berhak untuk menempati jabatan apapun, termasuk
menjadi pemimpin. Perempuan berhak untuk mengambil peran dan turut serta dalam membangun dan memajukan bangsa, negara, dan
agama. Perempuan harus berdaya. Mereka tidak boleh dikekang dalam belenggu yang
mengatasnamakan agama serta budaya.
Redaktur: Nahdhiya Nabila Izzati
Editor: Reza Mufarid
Posting Komentar